Manusia kadang hanya fokus pada ibadah ruhani dan menafikan ibadah lahiriah. Sibuk memikirkan nilai filosofis dari satu ritual dan ketika makna hakikat telah dicapai bisa jadi praktik ritualnya sendiri ditinggalkan. Atau sebagian manusia sibuk dengan ibadah-ibadah seremonial meskipun hanya dilakukan sebagai formalitas belaka karena telah tereduksi secara substansi.
Bila ingin disederhanakan, kita sering menemukan seseorang yang meninggalkan syar’i karena sudah merasa ada di level hakikat atau sedang melakukan pencarian hakikat kebenaran. “Buat apa sholat, yang penting kan dzikir, eling, muhasabah, selalu ingat Tuhan dan selalu berusaha berbuat baik sesama manusia dan semesta” pernyataan yang mungkin tidak asing lagi di telinga kita. Atau kadang kita menemukan fenomena yang berbeda, “sudahlah jangan kau pikirkan tentang Tuhan, tentang hakikat kebenaran, akal kita ini sangat terbatas untuk menjangkaunya, jalankan saja semua perintah agama, jalankan dengan iman, kalau kau punya iman yang kuat, semuanya akan kau jalani dengan ikhlas. Kalau kau masih mempertanyakannya, imanmu masih tipis” ungkapan demikan pun kadang masih kita temukan keluar dari orang yang dekat dengan kita.
Nampaknya perlu menarik kedua pendapat tersebut untuk berada di tengah-tengah, tidak condong ke ‘substansi’ dan juga tidak condong ke ‘formalitas’. Mungkin untuk mempertemukan dua garis yang bersebrangan itu, kajian tentang sholat wustho, sholat “tengah tengah” menjadi sesuatu yang layak untuk dikupas secara mendalam.
Untuk memulai kajian tentang sholat wustho, mari kita simak firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 238:"Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'."
Jika kita cermati struktur kalimat ayat di atas, terdapat pengulangan kata sholat. Pertama kata sholat dalam bentuk jama (ash-sholawati) dan kedua dalam bentuk tunggal (as-sholati) yang diikuti dengan kata sifat (al-wustho). Bagi ulama tafsir, jika ditemukan struktur kalimat yang demikian dalam Alquran, di mana terjadi pengulangan kata tertentu, kata pertama dalam bentuk Jama dan kata kedua (yang diulang) dalam bentuk tunggal, atau kata yang pertama dalam bentuk umum dan kata kedua dalam bentuk khusus sesungguhnya maksud yang ingin disampaikan adalah memberikan penekanan akan pentingnya kata kedua (misalnya ash-sholat al-wustho) dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya yang termasuk dalam kata pertama (misalnya as-sholawati) atau dalam istilah tafsir sering disebut Tanbiihan ‘alaa syarafiha fi jinsiha wa miqdaarihaa.
Hal demikian tidak hanya terjadi dalam surat Al-Baqarah ayat 238 saja, dalam ayat lain kita juga dapat menemukan struktur kalimat yang tidak jauh berbeda. Misalnya saja dalam surat Al-Baqarah ayat 98: "Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir."
Meskipun dalam ayat itu Allah SWT telah menyebutkan kata malaikat, namun dalam kalimat selanjutnya Allah kembali menyebut Jibril dan Mikail secara spesifik. Hal ini menunjukan posisi Jibril dan Mikail lebih utama dibandingkan malaikat lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditafsirkan bahwa maksud Allah melakukan pengulangan kata sholat (ash-sholat al-wustho) dalam surat Al-Baqarah ayat 238 adalah untuk memberikan penegasan akan pentingnya sholat wustho dibandingkan dengan sholat-sholat lainnya. Namun yang menjadi persoalan, sesungguhnya apa yang dimaksud dengan sholat wustho (tengah-tengah) itu?
Bagi para pengkaji hukum Islam, menafsirkan ayat alquran hanya bisa dilakukan pada ayat-ayat yang masih global (mujmal), Umum (am), atau ayat-ayat mutasyabihat. Tidak berlaku penafsiran terhadap ayat-ayat yang jelas, spesifik dan pasti. Tapi ada sebagian pengkaji hukum Islam yang membuka ruang penafsiran secara terbuka dengan tidak mengenal istilah-istilah muhkamat dan mutasyabihat, semua sah-sah saja untuk ditafsirkan. Atau ada pula pengkaji hukum Islam yang memiliki pandangan bahwa yang disebut ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat makiyyah dan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat madaniyah seperti pandangan Kyai Thaha dari Sudan. Pandangan ini tentunya berbanding terbalik dengan pandangan para ulama ushul pada umumnya yang berkeyakinan bahwa ayat-ayat Muhkamat adalah ayat-ayat Madaniyah dan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat Makiyyah. Alasan Kyai Thaha, Ayat-ayat yang turun di Mekkah adalah ayat-ayat yang bersifat fundamental dan universal, sedangkan ayat-ayat yang diturunkan di madinah bersifat spesifik, lokal dan kasuistik. Misalnya saja, Ayat Makkiyah berbicara tentang Prinsip dasar keimanan, sementara ayat Madaniyah berbicara tentang hukum positif.
Mengenai status ayat 238 dari surat Al-Baqarah yang berbicara tentang sholat wustho, bagi ulama ushul fikih ayat tersebut masuk dalam kategori ayat mujmal (global). Misalnya saja sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama ushul fikih modern dari kalangan mazhab Maliki, yaitu Imam As-Sathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat fi ushul as-syari’ah. Dengan demikian, nampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa sholat wustho sesuatu yang masih sah untuk ditafsirkan. Bagi kalangan pengkaji hukum Islam secara umum berpandangan bahwa ayat-ayat mujmal hanya bisa ditafsirkan dengan bayan bil ayat atau bil-hadis (penjelasan dengan ayat atau hadis). Namun tidak demikian bagi kalangan sufi yang kadang berani keluar dari kaidah ushul dan tetap saja menggunakan ta’wil bathin dalam mengungkap makna yang tersirat di balik kata sholat wustho.
Abu Bakr Muhammad bin Abdullah, atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Al-Arabi (bukan Ibnu Arabi -tanpa al- tokoh Teosofi Islam yang terkenal dengan gagasan monisme eksistensialnya tapi ini adalah Ibnu Al-Arabi -dengan al- yang merupakan seorang tokoh tafsir dengan spesialisasi tafsir hukum) dalam karyanya ahkam al-quran Jilid I mendokumentasikan beberapa penafsiran para sahabat Nabi dalam memaknai sholat wustho.
Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa yang dimaksud sholat wustho adalah sholat dzuhur. Bagi Zaid, sholat dzhuhur memiliki keutamaan dibandingkan sholat-sholat lainnya karena sholat dzuhur adalah sholat yang pertama kali difardhukan bagi umat Islam. Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa yang disebut sholat wustho adalah sholat Ashar. Pandangan Ali ini didasari hadis rasul yang mengatakan bahwa sholat yang paling besar peluangnya untuk ditinggalkan adalah sholat wustho, dan sholat wustho itu adalah sholat ashar, hingga diperlukan penegasan secara khusus mengenai pentingnya sholat ashar. Sebagian sahabat menyebutkan sholat wustho adalah sholat maghrib dengan alasan sholat maghrib adalah satu-satunya sholat yang bilangan raka’atnya ganjil. Hal ini menunjukan keutamaan dan keunikan shalat maghrib dibandingkan sholat lainnya. Ada pula sahabat yang mengatakan bahwa sholat wustho itu adalah sholat isya dengan argumentasi bahwa sholat isya adalah sholat yang berada di tengah-tengah (wustho) antara waktu sholat maghrib (menjelang malam) dan sholat subuh (menjelang pagi). Ibnu Abbas mengatakan bahwa sholat wustho adalah sholat subuh. Bagi Ibnu Abbas, sholat subuh adalah sholat yang dilakukan di pertengahan malam dan siang. Terakhir, ada pula yang berpandangan bahwa sholat wustho adalah sholat Jum’at. Di antara beberapa pandangan yang ada, pendapat Ali bin Abi Thalib lah yang paling masyhur dan sering dikutip banyak orang.
Berbeda dengan kalangan ulama tafsir dan fikih, para ulama tasawuf berpandangan bahwa sholat wustho bukanlah salah satu dari sholat lima waktu. Bagi mereka, sholat wustho adalah shalat bathin atau sholat ruhani.
Syeikh Abdul Qodir Jailani yang diakui kedudukannya sebagai waliyul quthb di kalangan dunia tasawuf dan tarekat -sebagaimana dipaparkan Syeikh Al-Hujwiri dalam kitab Kasyful Mahjub- memberikan ulasan yang cukup panjang mengenai sholat wustho. Bahkan dalam salah satu karyanya, Sirr al-Asrar wa Muzhir al-Anwar Fi Ma Yahtaju Ilaihi, Syeikh Abdul Qodir Jailani membahas secara khusus sholat wustho dalam satu bab, yaitu di bab 14 dengan tema Ma’na al-Ibadah.
Bagi Abdul Qodir, dalam ayat 238 surat Al-Baqarah tersebut terdapat dua perintah. Pertama dalam kalimat Hafidzuu ‘ala ash-sholawati adalah perintah untuk memelihara sholat lahiriah dan dalam kalimat selanjutnya, wa ash-sholat al-wustho adalah perintah untuk memelihara sholat ruhani.
Sholat lahiriah adalah sebagaimana didefinisikan ulama fikih, yaitu sekumpulan bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Adapun sholat ruhani adalah sholat yang dilakukan oleh hati secara terus menerus. Sholat ruhani itulah yang dimaksudkan sebagai sholat wustho. Karena, wustho -sesuai dengan maknanya tengah-tengah- memiliki kesamaan dengan posisi hati yang berada di tengah-tengah, di pusat kesadaran dan titik keseimbangan seorang manusia. Jadi yang dimaksud sholat wustho adalah usaha seorang manusia menjaga hatinya untuk selalu berada di pusat kesadaran dengan mengingat Allah, menyebut asma Allah bahkan bertemu dengan Allah secara ruhani. Hatinya tidak pernah lalai dan tidak pernah tidur akan tetapi selalu berdzikir dan menghadirkan Allah.
Sholat lahiriah dilakukan hanya dalam waktu-waktu tertentu, sholat ruhani dilakukan setiap saat, makanya kemudian ada yang menamakannya juga sholat da’im atau dawam. Sholat lahiriah masjidnya adalah ruangan fisik, sholat ruhani masjidnya adalah hati. Berjama’ah dalam sholat lahiriah adalah sholat yang dilakukan bersama-sama saudara seiman, dalam sholat ruhani berjama’ah adalah menghimpun seluruh kekuatan dan potensi diri (akal, ruh dan raga) untuk bersama-sama mengagungkan dan melafalkan asma Allah dengan bahasa bathin. Jika sholat lahiriah dalam berjamaah dipimpin oleh seorang manusia, maka dalam sholat ruhani imamnya adalah tekad yang kuat. Terakhir, jika sholat lahiriah kiblatnya adalah Ka’bah, dalam sholat ruhani kiblatnya adalah “wajah” Allah yang ada di mana-mana dengan segala keindahan-Nya yang maha abadi.
Dengan demikian dapat kita pahami, bahwa maksud Allah SWT memberikan tekanan tentang sholat wustho adalah untuk menunjukan bahwa sholat wustho atau sholat ruhani menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Sholat-sholat lahir yang kita kerjakan akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan melakukan sholat ruhani. Namun bukan berarti sholat lahiriah dapat kita abaikan dan hanya mementingkan sholat ruhani. Sebagai seorang manusia, kita bukanlah malaikat yang hanya dibekali ruhani saja sehingga cukup beribadah secara ruhani. Sebagai seorang manusia, kita bukanlah hewan yang hanya dibekali untuk kelangsungan hidup ragawi saja. Manusia adalah perpaduan antara ruhani dan jasmani, maka kemudian manusia harus mampu menjaga keseimbangan ruhani dan jasmani. Oleh karena itu, perpaduan sholat lahiriah dan sholat ruhani akan melahirkan ketentraman jiwa bagi orang yang menjalankannya dengan baik.
Manusia yang sudah mampu memadukan sholat lahiriah dengan sholat ruhani dapat menjadikan sholat sebagai media untuk berdialog langsung dengan Tuhan. Setiap gerakan dan bacaan yang dilakukan bukan sekedar gerakan dan bacaan yang kosong. Tapi setiap gerakan dan bacaan yang dilakukan penuh dengan penjiwaan dan penghayatan karena hatinya turut serta dalam menjalankan sholat. Misalnya, ketika mulut kita melafalkan Iyyaka Na’budu, Ya Allah Hanya kepada-Mu lah kami Menyembah, hati kita secara total menyerahkan seluruh jiwa raga hanya kepada Allah SWT, dan ketika kita melafalkan Iyyaka Nasta’inu, setelah kepasrahan total kepada Allah kita hanya berharap Allah-lah satu-satunya tempat memohon pertolongan, pertolongan yang kita inginkan adalah Ihdina ash-shirat al-mustaqim, yaitu petunjuk untuk mencapai jalan yang lurus, jalan yang dilalui para Nabi, Shiddiqiin, Syuhada dan Sholihin. Pemaknaan dan penghayatan yang demikian hanya bisa dilakukan ketika menjalankan sholat, kita menghidupkan dan menghadirkan hati kita, tidak hanya sebatas fisik saja. Sholat yang demikian adalah sholat yang layak disebut mi’raj, sholat yang termasuk dalam kategori perjalanan ruhani menuju Allah, mungkin hadis nabi yang berbunyi Ash-sholat Mi’raj al-mu’miniin, Sholat adalah Mi’rajnya orang-orang yang beriman, baru menemukan relevansinya dalam konteks ini. Semoga Allah selalu membuka dan mempertajam mata hati kita. Inna Fatahna Laka Fathan Mubiina!!!
Wallahu a’lam.