• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
Blue Orange Green Pink Purple

Pemikiran & Spiritualitas Islam Kontemporer

Insan Kamil atau manusia sejati adalah manusia yang memiliki kesadaran dan kemauan memaksimalkan potensi akal, ruh dan fisiknya secara seimbang untuk membaca setiap pesan Tuhan yang selalu menghampirinya setiap saat. Lalu berupaya menarik makna dan merangkainya menjadi sebuah cerita utuh dari perjalanan panjang dalam mematangkan jiwa, hingga saatnya tiba bagi kita mempersaksikan seluruh peran yang telah kita mainkan dalam drama kosmik ini kepada Sang Sutradara Tunggal.

Fakta Empiris Nikah Beda Agama

Drs. Nuryamin Aini, MA:
Fakta Empiris Nikah Beda Agama
22/06/2003

Problem krusial bagi pasangan beda agama yang secara serius hendak menempuh pernikahan biasanya adalah keterjepitan di antara dua kutub ekstrem: pernikahan sebagai hak privat dengan stigmatisasi keharaman nikah beda agama plus resistensi birokrasi. Akibatnya, seperti temuan penelitian Nuryamin Aini, alumnus Flinders University, Australia, pasutri beda agama sering melakukan hilah (manipulasi hukum) dan bersikap ambivalen dan hipokrit sekadar untuk lolos dari jebakan birokrasi pencatatan perkawinan.



Problem krusial bagi pasangan beda agama yang secara serius hendak menempuh pernikahan biasanya adalah keterjepitan di antara dua kutub ekstrem: pernikahan sebagai hak privat dengan stigmatisasi keharaman nikah beda agama plus resistensi birokrasi. Akibatnya, seperti temuan penelitian Nuryamin Aini, alumnus Flinders University, Australia, pasutri beda agama sering melakukan hilah (manipulasi hukum) dan bersikap ambivalen dan hipokrit sekadar untuk lolos dari jebakan birokrasi pencatatan perkawinan.

Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Drs. Nuryamin Aini, MA, pengajar fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Jakarta pada Kamis, 19 Juni 2003:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Mas Nuryamin, Anda pernah menulis tesis tentang fenomena nikah beda agama. Bagaimana sih fakta empirisnya?

NURYAMIN AINI: Sebelumnya perlu saya katakan bahwa ada hal yang amat mendasar yang perlu kita cermati. Biasanya cara beragama seseorang adalah sesuatu yang paling susah diatur secara formal. Ketika kita berbicara tentang hal yang bersifat sangat pribadi, lalu agama coba mengaturnya, maka yang terjadi adalah munculnya orang yang cari akal-akalan, mencari celah untuk berkelit (hilah).

Maka dari itu, saya ingin melihat fenomena PBA ini secara lebih empiris. Realitas seperti apa sih yang dilakoni oleh mereka yang menjalani PBA ini. Tahun 1994 ketika saya menulis tesis untuk meraih gelar MA di Flinders University, Australia, saya mencoba melihat fakta PBA dengan data-data empiris sesuai sampel sensus penduduk tahun 1980. Saya pakai data sensus, karena sensus menyediakan data yang sangat bagus secara metodologis.

Karena fenomena PBA makin marak, akhirnya saya meng-update data lama itu dengan meng-insert hasil sensus tahun 1990 dan 2000. Saya pilih Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai sasaran penelitian karena DIY merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya. Dari data tersebut ditemukan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus yang menikah beda agama dari 1000 kasus pernikahan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan justru trend-nya menurun menjadi 12 kasus saja pada tahun 2000. Trend penurunan ini dalam bahasa statistiknya disebut U terbalik. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000).

Tabel I
Angka PBA Menurut Agama, Tahun dan Jenis Kelamin
Agama 1980 1990 2000
Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
1. Islam 0.7 0.6 0.9 0.9 0.5 0.6
2. Protestan 6.0 8.6 10.6 13.8 5.1 3.6
3. Katolik 13.3 15.4 11.4 8.7 6.9 13.0
4. Hindu 19.0* 9.6* 16.3 2.7 60.0 -
5. Budha - - 37.5 21.9 - -
6. Lain-lain - - 35.5 0 - -
Jumlah 24677 24677 28668 28668 2673 2673

* Untuk SP-80, Hindhu, Budha dan lain-lain disatukan untuk analisis.
Sumber: Sensus 1980, 1990 dan 2000

Nah, bila trend ini dihubungkan dengan gagasan-gagasan Islam liberal ataupun pluralisme, sebagaimana tudingan bahwa gagasan itulah yang menyebabkan naiknya animo PBA, nyatanya wacana tersebut ternyata tidak meninggikan antusiasme untuk melakukan PBA. Saya memang baru melakukan riset di DIY. Nantinya, saya akan melihat kasus Medan, Jakarta, Bali dan Manado, dan Pontianak agar lebih bisa dipertanggungjawabkan dan punya klaim generalisasi.

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan pernikahan beda agama dibanding perempuan. Angka PBA, sesuai Sensus 1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan muslim (di bawah 1%). Tapi ini bisa dibaca bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang katakanlah minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar. Tapi secara umum, tabel tersebut menunjukkan ketiadaan pola PBA yang khas dalam kalangan non-muslim.

ULIL: Kalau melihat kasus tersebut, apa yang menjadi motif seseorang untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama?

NURYAMIN: Penelitian ini baru menggunakan data sekunder. Saya belum sampai pada tahap mendapat pengakuan langsung dari orang-orang yang menikah beda agama. Saya baru menampilkan statistik awal tentang bagaimana persoalan yang timbul dari tingkah laku PBA.

ULIL: Kesulitan birokrasi apakah turut memicu turunnya tingkat pernikahan beda agama?

NURYAMIN: Data sensus yang saya pakai ternyata menunjukkan PBA yang tercatat dan saya jadikan sebagai sampel penelitian adalah lebih besar dibandingkan dengan PBA yang tercatat di kantor catatan sipil. Ini berarti pasangan PBA mempunyai problem serius pada tingkat birokrasi pencatatan perkawinan. Banyak yang hipokrit, ambivalen dan melakukan hilah (manipulasi hukum) untuk “selamat” dari kesulitan birokrasi ini. Bahkan, tak sedikit yang pura-pura pindah agama sekadar untuk menggampangkan dalam mengurusi pencatatan nikah. Resistensi birokrasi, saya kira, tidak juga menghapus kohabitasi pasangan beda agama, tapi justru memperbanyak kemunafikan.

ULIL: Temuan Anda mengenai realitas pernikahan beda agama di Yogyakarta, apakah hal itu “dimonopoli” kalangan terpelajar?

NURYAMIN: Tidak juga. Saya kira, PBA bukanlah indeks perubahan sosial. Di DIY, PBA bukanlah trade-mark kalangan beragama masyarakat urban yang ekslusif. PBA juga menjadi milik tradisi wong cilik, “ndeso.” Temuan penelitian saya, banyak pasangan nikah beda agama yang buta huruf, tak bisa berbahasa Indonesia. Sebelum tahun 2000, 50% PBA dilakukan oleh orang desa, dengan tingkat pendidikan yang rendah, bukan hanya karena tamat SD saja, tapi banyak juga yang tak pernah bersekolah. Secara umum, PBA di DIY merupakan refleksi dari eksotisme masyarakat Yogyakarta. Walaupun ada kaitannya dengan fenomena masyakat urban, kasus PBA di DIY menunjukkan bahwa PBA melinatsi batas kategori-kategori sosial.

ULIL: Bagaimana kecenderungan agama anak dari pasangan nikah beda agama?

NURYAMIN: Kecenderungan agama dari anak pasangan PBA juga hal yang menarik dari hasil penelitian ini. Dalam Islam, laki-laki muslim tidak jadi soal menikahi perempuan nonmuslim. Data yang saya dapatkan pada tahun 1980, laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan non-muslim, 50% dari anaknya menjadi muslim. Tapi bila ibunya muslim dan bapaknya non-muslim, angkanya lebih tinggi: sampai 77% akan menjadi muslim. Angka itu naik lagi pada tahun 1990 menjadi 79%. Jadi bisa dikatakan bahwa kemampuan perempuan muslim untuk mengislamkan anaknya ketika menikah dengan laki-laki nonmuslim jauh lebih tinggi dibandingkan laki-lakinya yang muslim. Dominasi figur ibu tak dapat dipisahkan dari peran nurturancei-nya dan intensitas waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Lebih jauh lihat tabel berikut:

Tabel II
Afiliasi Agama Anak Keluarga PBA menurut Agama,
Tahun dan Jenis Kelamin Orangtua
Agama 1980 1990 2000
Suami Istri Suami Istri Suami Istri
1. Islam 50.0 77.1 57.0 79.0 13.0 61.9
2. Protestan 18.8 29.0 27.1 41.0 16.0 55.6
3. Katolik 46.2 75.5 41.8 51.0 25.0 93.8
4. Hindu 8.6* 33.3* 5.6 0 40.0 -
5. Budha - - 4.8 0 - -
6. Lain-lain - - 20.0 0 - -

* Untuk SP-80, Hindu, Budha dan lain-lain disatukan untuk analisis. SP 1980 = 685 anak; SP 1990 = 1044 anak; SP 2000 = 83 anak.
Sumber: Sensus 1980, 1990 dan 2000

ULIL: Melihat data itu, salah satu alasan fikih melarang perempuan muslim menikahi laki-laki nonmuslim, menjadi tidak relevan, dong?

NURYAMIN: Ya. Ini karena disiplin fikih terlalu banyak mengandalkah hal-hal yang sifatnya hipotetis, pengandaian-pengandaian dan selalu bersandar pada gagasan-gagasan yang tidak teruji secara empiris. Bahkan, kita melihat fikih yang tidak empirik itu masih dijadikan acuan oleh masyarakat, dan oleh karena itu, masyarakat selalu “didikte” oleh fikih seperti itu. Mestinya fikih itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Saya kira, perlu ada perubahan radikal kalau temuan ini hendak dijadikan acuan untuk menakar keberadaan fikih lama. Kalau dalam hukum fikih yang lama perempuan muslim tidak bisa menikah dengan laki-laki nonmuslim, dengan dalih anaknya tidak akan menjadi Islam, maka alasan itu tidak punya dasar empirik. Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang melandasi larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim. Kalau orang hendak bertanya tentang datanya, Badan Pusat Statistik (BPS) bisa menjelaskan. Data ini, kalaupun mengandung kesalahan, kisarannya hanya antara 2 atau 3 persen saja.

ULIL: Secara umum, dari temuan penelitian Anda, adakah kiat yang dilakukan salah satu pasutri untuk menarik anak atau keturunan mereka pada agama mereka?

NURYAMIN: Yang menarik dari penelitian ini, dari sekian agama, umat Islam dan Katolik-lah yang sangat dominan untuk mengislamkan atau mengatolikkan keturunan mereka. (Lihat tabel II). Bisa jadi fenomena ini terkait dengan doktri kedua agama ini sebagai agama propagandis. Doktrin kanonik gereja memberlakukan anti-nuptial agreement, yang mengharuskan pasangan Katolik untuk mengatolikkan anak mereka. Bahkan, gereja diminta selalu memantau realisasi (baptizing) kesepakatan tersebut. Islam juga seperti itu, meski istilah atau kadarnya mungkin berbeda. Islam memberi beban dan tanggung jawab teologis kepada orang tua agar mendidik anak mereka secara Islam. Dalam Alquran, apalagi hadis, banyak disebut mengenai tanggung jawab orang tua dalam memberi pendidikan agama kepada sang anak.

ULIL: Mas Nuryamin, sebagai pengajar di fakultas Syariah, bagaimana Anda melihat larangan nikah beda agama secara holistik, meski fakta empirisnya nikah beda agama tetap terjadi?

NURYAMIN: Kalaupun ada larangan PBA, persoalannya bukan an sich masalah agama. Ada kategori dan variable-variabel sosial yang terkait dalam penafsiran yang bersifat teologis. Memang, ada ayat yang mengatakan, “Janganlah menikahi orang-orang musyrik… (lihat, QS. 2: 221, Red). Dalam bahasa Arab, kosakata al-musyrikât itu menunjuk pada barang atau komunitas tertentu (al-ma’rifah). Ini bukan nakirah, tapi menunjuk pada komunitas tertentu yang ditentang. Al-musyrikât itu kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi yang berarti orang yang tidak bertuhan.

Nah, saya kira, orang musyrik yang disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy Mekkah yang sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru terbentuk. Kita bisa bayangkan, kalau begitu sengit permusuhannya terhadap Islam, bagaimana mungkin kita akan menjadikannya sebagai pasangan hidup? Isu yang paling mendasar dari larangan PBA adalah masalah sosial-politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis.

ULIL: Pada level grass-roots acapkali tendengar larangan menikah beda agama, bahkan ayat Alquran yang membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab pun sering dianggap haram?

NURYAMIN: Produk penafsiran seperti itu karena mengabaikan setting turunnya ayat. Kalau setiap ayat ada konteksnya, maka setiap terminologi Alquran juga punya konteks sendiri. Selain itu, persoalan agama juga menjadi kategori penting dalam bermasyarakat dan berumah tangga. Perbedaan dalam agama sering sekali dianggap sebagai penghalang untuk kehidupan sesama yang yang lebih harmonis.

Nah, orang selalu menjadikan ayat 221 surat al-Baqarah sebagai dalil larangan PBA. Konteks permusuhan kaum musyrik itulah yang saat itu dikhawatirkan akan menghancurkan harapan-harapan suci pernikahan yang biasa disebut sebagai mîtsâqan ghalîdzâ (penambat yang kokoh, Red). Oleh sebab itu, persoalan kafâ’ah (kesetaraan, Red) atau kesamaan dalam agama bagi pasangan yang mau menikah juga ditekankan dalam jurisprudensi Islam klasik.

ULIL: Tafsir tentang ahli kitab juga mengundang perbedaan pendapat dan kontroversi. Menurut Anda?

NURYAMIN: Hal ini menyangkut doktrin yang kadang-kadang justru mereduksi universalitas ajaran Alquran itu sendiri. Coba kita pahami siapa ahli kitab itu. Menurut saya, ahli kitab itu merupakan gambaran bagi orang yang tercerahkan. Artinya ketika dia bertindak, ada yang memandu mereka, berkat adanya ajaran yang dia yakini. Dia tidak grusa-grusu seperti orang musyrik yang jelas tidak punya acuan sehingga kaum musyrikin bermusuhan dengan siapapun.

Oleh karena itu, bagi saya, ahli kitab itu tidak terpaku pada orang-orang yang secara konvensional dibatasi pada Yahudi dan Nasrani saja, tapi bagi siapapun yang punya cara pandang yang terarah, dan kemudian membuat mereka tidak bermusuhan dengan orang lain. Bagi saya, inilah gambaran ideal tentang orang yang secara maknawi bisa disebut sebagai orang-orang ahli kitab.

ULIL: Mitos bahwa nikah beda agama rawan konflik dan perceraian kuat menancap dalam alam kesadaran masyarakat. Tanggapan Anda?

NURYAMIN: Sebenarnya permasalahan konflik keluarga bukan semata karena berbeda agama. Asalkan setiap pasutri mampu menghadapi setiap konflik yang muncul dengan baik, insya Allah, takkan terjadi konflik. Toh, pasutri yang seagama pun tak luput dari konflik.

ULIL: Bagaimana aspek empiris pasangan nikah beda agama. Apakah mereka kebanyakan bahagia atau mengalami konflik seperti anggapan orang pada umumnya?

NURYAMIN: Penelitian saya belum sejauh itu. Tapi poinnya, kita perlu mendengarkan penuturan orang-orang yang melakoni PBA. Kalau mereka ternyata menemukan kedamaian, maka semangat menolak PBA, karena alasan tidak akan bahagia perlu dibongkar. Kita terlalu banyak bicara pada tataran spekulatif dan mengandalkan keyakinan diri masing-masing. Kita perlu turun ke lapangan. Perlu diteliti, berapa banyak orang yang menikah beda agama lalu bercerai. Jangan-jangan, rasio perceraian mereka lebih rendah dari orang-orang yang menikah dengan pasangan satu agama.

Kita lihat, pasutri PBA bisa saja menetralisasi perbedaan agama dan tertutupi persamaan-persamaan keduanya dalam aspek-aspek yang lain. Orang bisa saja berpikir bahwa persoalan agama adalah urusan saya dengan Allah, sementara saya mesti tetap baik dengan isteri saya, apapun agamanya. Faktor-faktor semacam itulah yang kadang mendorong mereka yang melakoni PBA untuk membantah tudingan orang bahwa keluarga mereka seperti neraka adalah salah total.

Kadang kita juga menemukan kasus pasutri PBA yang saling bermusuhan. Hal ini terjadi karena masing-masing pasangan terlalu mengideologisasi agama; menyakini agamanya sembari menyalahkan orang lain untuk membuktikan bahwa agama dia saja yang benar. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus mengakui semua agama benar. Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau mencaci-maki. []
Read More 1 Comment | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

OTORITARIANISME : CATATAN HITAM PERADABAN ISLAM

Oleh: Asnawi Ihsan
Otoritarianisme adalah faham yang mengabsahkan tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan keagamaannya (tafsir atas teks suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan.

Dalam sejarah peradaban Islam, dampak otoritarianisme berulangkali terjadi menimpa ulama dan intelektual. Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab fikih Hanbali) mengalami penyiksaan oleh khalifah Al-Ma’mun karena memiliki pandangan yang berbeda dengan teologi yang dianut negara saat itu. Negara berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sementara Imam Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa Al-Qur'an bukan makhluk. Ibnu Rusyd (seorang tokoh filsafat Islam) diasingkan dan karya-karyanya dimusnahkan pada masa Khalifah Al-Manshur karena dianggap menyimpang dari syariat Islam dan lebih mengedepankan rasionalisme. Abu Manshur Al-Hallaj (seorang tokoh tasawuf falsafi) mendapatkan hukuman mati karena mengajarkan doktrin wadhatul wujud (pantheisme) yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam (Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Tragedi Intelektual –Perselingkuhan Politik dan Agama--, 2003 hal. 115-269)

Peristiwa seperti itu masih terus terjadi hingga saat ini. Mahmoud Muhammad Taha dinyatakan murtad dan dihukum mati oleh pemerintah Sudan karena gagasan tafsir Al-Qur'an yang sejalan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang dikembangkannya berlawanan dengan hukum Islam yang diterapkan secara revivalis oleh pemerintah berkuasa. Nawal el-Sadawi (intelektual feminis asal Mesir) mendapatkan vonis murtad dan harus bercerai dengan suaminya karena gagasan feminisme yang dikembangkannya berlawanan dengan pandangan ulama konservatif di Mesir. Masih banyak lagi deretan kasus seperti ini baik yang terekam dalam dokumentasi sejarah ataupun yang tidak terdokumentasikan. (Asnawi Ihsan, Islam Liberal: Implikasi Pemikiran Pluralisme Agama Terhadap Hukum Islam, 2003 hal. 19-20)

Beberapa kasus di atas memiliki akar persoalan yang sama. Yaitu berkaitan dengan ide yang dianggap bertentangan atau melanggar kemapanan doktrin yang sudah ada kemudian disikapi dengan pelarangan atas nama agama, baik yang dilakukan negara atau kelompok masyarakat. Argumentasi yang biasa dikemukakan untuk melakukan pelarangan pun tidak mengalami perubahan dari masa ke masa. Tidak jauh dari tuduhan merusak akidah, mengingkari prinsip-prinsip agama, melecehkan ajaran-ajaran agama, bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah, atau yang paling parah adalah membungkus kesesatan dengan Ayat-ayat Al-Qur'an dan menjadi agen kelompok non Muslim sebagai upaya untuk menghancurkan Islam dari dalam. Seperti Al-Ma’mun saat memutuskan untuk menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal termasuk golongan yang tidak mengenal Tuhan, buta akan Allah, jauh dari kebenaran agama, tidak bertauhid dan tidak beriman.

Pelarangan terhadap sesuatu perbuatan seringkali diyakini sebagai upaya untuk menegakan kehendak Tuhan. Disini barangkali letak persoalannya. Apakah ada selain Tuhan yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya yang menjadi kehendak Tuhan? Apakah ada manusia yang memiliki kewenangan untuk memposisikan diri sebagai wakil (tentara) Tuhan yang berhak untuk menentukan tindakan seseorang mendekati atau menjauhi kehendak Tuhan?

Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya . Disini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam arti reader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam.

Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil (tentara) Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas.

Khaled M. Abou El- Fadl dalam buku Atas Nama Tuhan –Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif-- memberikan rumusan yang jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh individu atau lembaga untuk meposisikan diri sebagai wakil Tuhan. Definisi wakil Tuhan menurutnya adalah individu atau lembaga yang memang diberikan kewenangan oleh orang lain atau masyarakat –bukan mengaku-ngaku dan memposisikan sendiri-- karena memiliki kompetensi yang cukup dan dipercaya untuk memberikan fatwa sebagai sebuah penafsiran atas Kehendak Tuhan.

Di bawah ini adalah 5 syarat yang harus dipenuhi wakil Tuhan dalam pandangan El- Fadl:
1.Kejujuran (honesty). Adalah sikap tidak berpura-pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang sejauhmana ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan.
2.Kesungguhan (diligence). Adalah upaya yang keras dan hati-hati karena bersentuhan dengan hak orang lain. Harus menghindari sikap yang dapat merugikan hak orang lain karena semakin besar pelanggaran terhadap orang lain semakin besar pula pertanggungjawaban di sisi Tuhan.
3.Kemenyeluruhan (comprehensiveness). Adalah upaya untuk menyelidiki kehendak Tuhan secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua nash yang relevan.
4.Rasionalitas (reasonableness). Adalah upaya penafsiran dan analisa terhadap nash secara rasional.
5.Pengendalian diri (self-restraint). Adalah tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Harus dibangun atas dasar “Wa Allah a’lamu bi ash-shawab” (Dan Tuhan lebih tahu yang terbaik)

Syarat-syarat yang diajukan El-Fadl bukan merupakan standar baku dan mutlak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil Tuhan. Namun setidaknya dapat dijadikan salah satu pendekatan dalam memahami sejauh mana otoritas Tuhan dapat diwakilkan kepada manusia atau lembaga.

Menarik disini untuk mengkaji dinamika yang terjadi di Indonesia. Kasus pelarangan (pengharaman), tudingan sesat dan menyesatkan, atau tuduhan memiliki pemikiran dan cara beragama yang keluar dari ajaran Islam seringkali terjadi. Baik itu dilakukan oleh lembaga keagamaan yang dianggap berkompeten mewakili pemerintah atau yang dilakukan oleh ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam sebagai representasi umat Islam.
Hemat penulis, pada sisi tertentu sikap seperti itu (otoritarian) dapat menjadi kontrol bagi gejala kebebasan berfikir agar tetap terus berada dalam kerangka berfikir Islami dengan tetap menjadikan Al-Qur'an dan Sunah sebagai pijakan. Namun pada sisi lain dapat menghambat perkembangan dan kemajuan peradaban Islam.

Kemunduran Islam akan terjadi manakala kreativitas kaum intelektual telah dibatasi. Hal tersebut sangat mungkin terjadi manakala setiap muncul gagasan yang berbeda dari mainstream yang ada di tengah masyarakat dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Apalagi sampai pada tidakan pembunuhan karakter, ancaman dan tindakan refresif lainnya. Padahal belum tentu benar-benar sesat dan menyimpang. Bisa saja hanya sebatas pada persoalan perbedaan penafsiran dan pemahaman. Di sini barangkali sering terjadi bias antara sesat dan berbeda. Definisi sesat dan menyimpang bukan lagi terletak pada metodologi berfikir yang digunakan. Apakah masih menggunakan cara berfikir yang dibenarkan menurut Islam atau tidak. Akan tetapi seringkali ukuran sesat dan menyimpang adalah berbeda dengan penafsiran yang dipegang oleh penguasa atau mayoritas umat Islam.

Sudah saatnya semua pihak untuk instrospeksi diri bahwa kebenaran dan agama Islam bukan hanya milik kita, lembaga atau orang-orang yang sefaham dengan kita.. Akan tetapi menjadi milik bagi semua makhluk Tuhan. Otoritas kebenaran benar-benar mutlak menjadi milik Tuhan. Mari kita singkirkan jauh-jauh nafsu syahwat kita yang sering muncul dalam wujud arogansi dan sikap otoriter untuk mengatakan bahwa cara beragama kita lebih baik dan benar dari orang lain yang memiliki penafsiran dan cara memahami (menjalankan) ajaran Islam berbeda dengan kita. Mari kita belajar menerima perbedaan sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri.
Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.
Read More 0 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post
Newer Posts Home

Asnawi Ihsan

  • About Me!
      Lulusan Fak. Syari'ah&Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2003)dengan judul skripsi "Islam Liberal:Implikasi Pemikiran Pluralisme Agama Terhadap Hukum Islam".
      Selengkapnya
  • Pengikut!

    Kategori

    • Beda Agama (1)
    • Hukum Islam (4)
    • Khutbah (1)
    • Perkawinan (1)
    • Perkawinan Beda Agama (1)
    • Pluralisme (1)
    • Sejarah (1)
    • Shalat (1)
    • Shalat Wustho (1)
    • Spiritual (1)
    • Tasawuf (3)
    • Tokoh Islam (2)

    Arsip

    • May 2009 (1)
    • August 2008 (1)
    • March 2008 (2)
    • December 2007 (1)
    • September 2007 (1)
    • June 2007 (5)
    • March 2007 (2)
    Technorati Tags: pernikahan beda agama, perkawinan beda agama, pernikahan, perkawinan, islam, liberal, spiritual, tasawuf, hukum islam, tokoh islam, pluralis

    Labels

    • Hukum Islam (4)
    • Tasawuf (3)
    • Tokoh Islam (2)
    • Beda Agama (1)
    • Khutbah (1)
    • Perkawinan (1)
    • Perkawinan Beda Agama (1)
    • Pluralisme (1)
    • Sejarah (1)
    • Shalat (1)
    • Shalat Wustho (1)
    • Spiritual (1)
  • Search






    • Home
    • Posts RSS
    • Comments RSS
    • Edit

    © Copyright Pemikiran & Spiritualitas Islam Kontemporer. All rights reserved.
    Designed by Teguh Wiguna | Bloggerized by teguhwiguna.co.cc
    brought to you by Kudu Aing Deui!

    Back to Top