Fakta Empiris Nikah Beda Agama
22/06/2003
Problem krusial bagi pasangan beda agama yang secara serius hendak menempuh pernikahan biasanya adalah keterjepitan di antara dua kutub ekstrem: pernikahan sebagai hak privat dengan stigmatisasi keharaman nikah beda agama plus resistensi birokrasi. Akibatnya, seperti temuan penelitian Nuryamin Aini, alumnus Flinders University, Australia, pasutri beda agama sering melakukan hilah (manipulasi hukum) dan bersikap ambivalen dan hipokrit sekadar untuk lolos dari jebakan birokrasi pencatatan perkawinan.
Problem krusial bagi pasangan beda agama yang secara serius hendak menempuh pernikahan biasanya adalah keterjepitan di antara dua kutub ekstrem: pernikahan sebagai hak privat dengan stigmatisasi keharaman nikah beda agama plus resistensi birokrasi. Akibatnya, seperti temuan penelitian Nuryamin Aini, alumnus Flinders University, Australia, pasutri beda agama sering melakukan hilah (manipulasi hukum) dan bersikap ambivalen dan hipokrit sekadar untuk lolos dari jebakan birokrasi pencatatan perkawinan.
Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Drs. Nuryamin Aini, MA, pengajar fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Jakarta pada Kamis, 19 Juni 2003:
ULIL ABSHAR-ABDALLA: Mas Nuryamin, Anda pernah menulis tesis tentang fenomena nikah beda agama. Bagaimana sih fakta empirisnya?
NURYAMIN AINI: Sebelumnya perlu saya katakan bahwa ada hal yang amat mendasar yang perlu kita cermati. Biasanya cara beragama seseorang adalah sesuatu yang paling susah diatur secara formal. Ketika kita berbicara tentang hal yang bersifat sangat pribadi, lalu agama coba mengaturnya, maka yang terjadi adalah munculnya orang yang cari akal-akalan, mencari celah untuk berkelit (hilah).
Maka dari itu, saya ingin melihat fenomena PBA ini secara lebih empiris. Realitas seperti apa sih yang dilakoni oleh mereka yang menjalani PBA ini. Tahun 1994 ketika saya menulis tesis untuk meraih gelar MA di Flinders University, Australia, saya mencoba melihat fakta PBA dengan data-data empiris sesuai sampel sensus penduduk tahun 1980. Saya pakai data sensus, karena sensus menyediakan data yang sangat bagus secara metodologis.
Karena fenomena PBA makin marak, akhirnya saya meng-update data lama itu dengan meng-insert hasil sensus tahun 1990 dan 2000. Saya pilih Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai sasaran penelitian karena DIY merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya. Dari data tersebut ditemukan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus yang menikah beda agama dari 1000 kasus pernikahan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan justru trend-nya menurun menjadi 12 kasus saja pada tahun 2000. Trend penurunan ini dalam bahasa statistiknya disebut U terbalik. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000).
Tabel I
Angka PBA Menurut Agama, Tahun dan Jenis Kelamin
Agama 1980 1990 2000
Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
1. Islam 0.7 0.6 0.9 0.9 0.5 0.6
2. Protestan 6.0 8.6 10.6 13.8 5.1 3.6
3. Katolik 13.3 15.4 11.4 8.7 6.9 13.0
4. Hindu 19.0* 9.6* 16.3 2.7 60.0 -
5. Budha - - 37.5 21.9 - -
6. Lain-lain - - 35.5 0 - -
Jumlah 24677 24677 28668 28668 2673 2673
* Untuk SP-80, Hindhu, Budha dan lain-lain disatukan untuk analisis.
Sumber: Sensus 1980, 1990 dan 2000
Nah, bila trend ini dihubungkan dengan gagasan-gagasan Islam liberal ataupun pluralisme, sebagaimana tudingan bahwa gagasan itulah yang menyebabkan naiknya animo PBA, nyatanya wacana tersebut ternyata tidak meninggikan antusiasme untuk melakukan PBA. Saya memang baru melakukan riset di DIY. Nantinya, saya akan melihat kasus Medan, Jakarta, Bali dan Manado, dan Pontianak agar lebih bisa dipertanggungjawabkan dan punya klaim generalisasi.
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan pernikahan beda agama dibanding perempuan. Angka PBA, sesuai Sensus 1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan muslim (di bawah 1%). Tapi ini bisa dibaca bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang katakanlah minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar. Tapi secara umum, tabel tersebut menunjukkan ketiadaan pola PBA yang khas dalam kalangan non-muslim.
ULIL: Kalau melihat kasus tersebut, apa yang menjadi motif seseorang untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama?
NURYAMIN: Penelitian ini baru menggunakan data sekunder. Saya belum sampai pada tahap mendapat pengakuan langsung dari orang-orang yang menikah beda agama. Saya baru menampilkan statistik awal tentang bagaimana persoalan yang timbul dari tingkah laku PBA.
ULIL: Kesulitan birokrasi apakah turut memicu turunnya tingkat pernikahan beda agama?
NURYAMIN: Data sensus yang saya pakai ternyata menunjukkan PBA yang tercatat dan saya jadikan sebagai sampel penelitian adalah lebih besar dibandingkan dengan PBA yang tercatat di kantor catatan sipil. Ini berarti pasangan PBA mempunyai problem serius pada tingkat birokrasi pencatatan perkawinan. Banyak yang hipokrit, ambivalen dan melakukan hilah (manipulasi hukum) untuk “selamat” dari kesulitan birokrasi ini. Bahkan, tak sedikit yang pura-pura pindah agama sekadar untuk menggampangkan dalam mengurusi pencatatan nikah. Resistensi birokrasi, saya kira, tidak juga menghapus kohabitasi pasangan beda agama, tapi justru memperbanyak kemunafikan.
ULIL: Temuan Anda mengenai realitas pernikahan beda agama di Yogyakarta, apakah hal itu “dimonopoli” kalangan terpelajar?
NURYAMIN: Tidak juga. Saya kira, PBA bukanlah indeks perubahan sosial. Di DIY, PBA bukanlah trade-mark kalangan beragama masyarakat urban yang ekslusif. PBA juga menjadi milik tradisi wong cilik, “ndeso.” Temuan penelitian saya, banyak pasangan nikah beda agama yang buta huruf, tak bisa berbahasa Indonesia. Sebelum tahun 2000, 50% PBA dilakukan oleh orang desa, dengan tingkat pendidikan yang rendah, bukan hanya karena tamat SD saja, tapi banyak juga yang tak pernah bersekolah. Secara umum, PBA di DIY merupakan refleksi dari eksotisme masyarakat Yogyakarta. Walaupun ada kaitannya dengan fenomena masyakat urban, kasus PBA di DIY menunjukkan bahwa PBA melinatsi batas kategori-kategori sosial.
ULIL: Bagaimana kecenderungan agama anak dari pasangan nikah beda agama?
NURYAMIN: Kecenderungan agama dari anak pasangan PBA juga hal yang menarik dari hasil penelitian ini. Dalam Islam, laki-laki muslim tidak jadi soal menikahi perempuan nonmuslim. Data yang saya dapatkan pada tahun 1980, laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan non-muslim, 50% dari anaknya menjadi muslim. Tapi bila ibunya muslim dan bapaknya non-muslim, angkanya lebih tinggi: sampai 77% akan menjadi muslim. Angka itu naik lagi pada tahun 1990 menjadi 79%. Jadi bisa dikatakan bahwa kemampuan perempuan muslim untuk mengislamkan anaknya ketika menikah dengan laki-laki nonmuslim jauh lebih tinggi dibandingkan laki-lakinya yang muslim. Dominasi figur ibu tak dapat dipisahkan dari peran nurturancei-nya dan intensitas waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Lebih jauh lihat tabel berikut:
Tabel II
Afiliasi Agama Anak Keluarga PBA menurut Agama,
Tahun dan Jenis Kelamin Orangtua
Agama 1980 1990 2000
Suami Istri Suami Istri Suami Istri
1. Islam 50.0 77.1 57.0 79.0 13.0 61.9
2. Protestan 18.8 29.0 27.1 41.0 16.0 55.6
3. Katolik 46.2 75.5 41.8 51.0 25.0 93.8
4. Hindu 8.6* 33.3* 5.6 0 40.0 -
5. Budha - - 4.8 0 - -
6. Lain-lain - - 20.0 0 - -
* Untuk SP-80, Hindu, Budha dan lain-lain disatukan untuk analisis. SP 1980 = 685 anak; SP 1990 = 1044 anak; SP 2000 = 83 anak.
Sumber: Sensus 1980, 1990 dan 2000
ULIL: Melihat data itu, salah satu alasan fikih melarang perempuan muslim menikahi laki-laki nonmuslim, menjadi tidak relevan, dong?
NURYAMIN: Ya. Ini karena disiplin fikih terlalu banyak mengandalkah hal-hal yang sifatnya hipotetis, pengandaian-pengandaian dan selalu bersandar pada gagasan-gagasan yang tidak teruji secara empiris. Bahkan, kita melihat fikih yang tidak empirik itu masih dijadikan acuan oleh masyarakat, dan oleh karena itu, masyarakat selalu “didikte” oleh fikih seperti itu. Mestinya fikih itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Saya kira, perlu ada perubahan radikal kalau temuan ini hendak dijadikan acuan untuk menakar keberadaan fikih lama. Kalau dalam hukum fikih yang lama perempuan muslim tidak bisa menikah dengan laki-laki nonmuslim, dengan dalih anaknya tidak akan menjadi Islam, maka alasan itu tidak punya dasar empirik. Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang melandasi larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim. Kalau orang hendak bertanya tentang datanya, Badan Pusat Statistik (BPS) bisa menjelaskan. Data ini, kalaupun mengandung kesalahan, kisarannya hanya antara 2 atau 3 persen saja.
ULIL: Secara umum, dari temuan penelitian Anda, adakah kiat yang dilakukan salah satu pasutri untuk menarik anak atau keturunan mereka pada agama mereka?
NURYAMIN: Yang menarik dari penelitian ini, dari sekian agama, umat Islam dan Katolik-lah yang sangat dominan untuk mengislamkan atau mengatolikkan keturunan mereka. (Lihat tabel II). Bisa jadi fenomena ini terkait dengan doktri kedua agama ini sebagai agama propagandis. Doktrin kanonik gereja memberlakukan anti-nuptial agreement, yang mengharuskan pasangan Katolik untuk mengatolikkan anak mereka. Bahkan, gereja diminta selalu memantau realisasi (baptizing) kesepakatan tersebut. Islam juga seperti itu, meski istilah atau kadarnya mungkin berbeda. Islam memberi beban dan tanggung jawab teologis kepada orang tua agar mendidik anak mereka secara Islam. Dalam Alquran, apalagi hadis, banyak disebut mengenai tanggung jawab orang tua dalam memberi pendidikan agama kepada sang anak.
ULIL: Mas Nuryamin, sebagai pengajar di fakultas Syariah, bagaimana Anda melihat larangan nikah beda agama secara holistik, meski fakta empirisnya nikah beda agama tetap terjadi?
NURYAMIN: Kalaupun ada larangan PBA, persoalannya bukan an sich masalah agama. Ada kategori dan variable-variabel sosial yang terkait dalam penafsiran yang bersifat teologis. Memang, ada ayat yang mengatakan, “Janganlah menikahi orang-orang musyrik… (lihat, QS. 2: 221, Red). Dalam bahasa Arab, kosakata al-musyrikât itu menunjuk pada barang atau komunitas tertentu (al-ma’rifah). Ini bukan nakirah, tapi menunjuk pada komunitas tertentu yang ditentang. Al-musyrikât itu kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi yang berarti orang yang tidak bertuhan.
Nah, saya kira, orang musyrik yang disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy Mekkah yang sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru terbentuk. Kita bisa bayangkan, kalau begitu sengit permusuhannya terhadap Islam, bagaimana mungkin kita akan menjadikannya sebagai pasangan hidup? Isu yang paling mendasar dari larangan PBA adalah masalah sosial-politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis.
ULIL: Pada level grass-roots acapkali tendengar larangan menikah beda agama, bahkan ayat Alquran yang membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab pun sering dianggap haram?
NURYAMIN: Produk penafsiran seperti itu karena mengabaikan setting turunnya ayat. Kalau setiap ayat ada konteksnya, maka setiap terminologi Alquran juga punya konteks sendiri. Selain itu, persoalan agama juga menjadi kategori penting dalam bermasyarakat dan berumah tangga. Perbedaan dalam agama sering sekali dianggap sebagai penghalang untuk kehidupan sesama yang yang lebih harmonis.
Nah, orang selalu menjadikan ayat 221 surat al-Baqarah sebagai dalil larangan PBA. Konteks permusuhan kaum musyrik itulah yang saat itu dikhawatirkan akan menghancurkan harapan-harapan suci pernikahan yang biasa disebut sebagai mîtsâqan ghalîdzâ (penambat yang kokoh, Red). Oleh sebab itu, persoalan kafâ’ah (kesetaraan, Red) atau kesamaan dalam agama bagi pasangan yang mau menikah juga ditekankan dalam jurisprudensi Islam klasik.
ULIL: Tafsir tentang ahli kitab juga mengundang perbedaan pendapat dan kontroversi. Menurut Anda?
NURYAMIN: Hal ini menyangkut doktrin yang kadang-kadang justru mereduksi universalitas ajaran Alquran itu sendiri. Coba kita pahami siapa ahli kitab itu. Menurut saya, ahli kitab itu merupakan gambaran bagi orang yang tercerahkan. Artinya ketika dia bertindak, ada yang memandu mereka, berkat adanya ajaran yang dia yakini. Dia tidak grusa-grusu seperti orang musyrik yang jelas tidak punya acuan sehingga kaum musyrikin bermusuhan dengan siapapun.
Oleh karena itu, bagi saya, ahli kitab itu tidak terpaku pada orang-orang yang secara konvensional dibatasi pada Yahudi dan Nasrani saja, tapi bagi siapapun yang punya cara pandang yang terarah, dan kemudian membuat mereka tidak bermusuhan dengan orang lain. Bagi saya, inilah gambaran ideal tentang orang yang secara maknawi bisa disebut sebagai orang-orang ahli kitab.
ULIL: Mitos bahwa nikah beda agama rawan konflik dan perceraian kuat menancap dalam alam kesadaran masyarakat. Tanggapan Anda?
NURYAMIN: Sebenarnya permasalahan konflik keluarga bukan semata karena berbeda agama. Asalkan setiap pasutri mampu menghadapi setiap konflik yang muncul dengan baik, insya Allah, takkan terjadi konflik. Toh, pasutri yang seagama pun tak luput dari konflik.
ULIL: Bagaimana aspek empiris pasangan nikah beda agama. Apakah mereka kebanyakan bahagia atau mengalami konflik seperti anggapan orang pada umumnya?
NURYAMIN: Penelitian saya belum sejauh itu. Tapi poinnya, kita perlu mendengarkan penuturan orang-orang yang melakoni PBA. Kalau mereka ternyata menemukan kedamaian, maka semangat menolak PBA, karena alasan tidak akan bahagia perlu dibongkar. Kita terlalu banyak bicara pada tataran spekulatif dan mengandalkan keyakinan diri masing-masing. Kita perlu turun ke lapangan. Perlu diteliti, berapa banyak orang yang menikah beda agama lalu bercerai. Jangan-jangan, rasio perceraian mereka lebih rendah dari orang-orang yang menikah dengan pasangan satu agama.
Kita lihat, pasutri PBA bisa saja menetralisasi perbedaan agama dan tertutupi persamaan-persamaan keduanya dalam aspek-aspek yang lain. Orang bisa saja berpikir bahwa persoalan agama adalah urusan saya dengan Allah, sementara saya mesti tetap baik dengan isteri saya, apapun agamanya. Faktor-faktor semacam itulah yang kadang mendorong mereka yang melakoni PBA untuk membantah tudingan orang bahwa keluarga mereka seperti neraka adalah salah total.
Kadang kita juga menemukan kasus pasutri PBA yang saling bermusuhan. Hal ini terjadi karena masing-masing pasangan terlalu mengideologisasi agama; menyakini agamanya sembari menyalahkan orang lain untuk membuktikan bahwa agama dia saja yang benar. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus mengakui semua agama benar. Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau mencaci-maki. []