Otoritarianisme adalah faham yang mengabsahkan tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan keagamaannya (tafsir atas teks suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan.
Dalam sejarah peradaban Islam, dampak otoritarianisme berulangkali terjadi menimpa ulama dan intelektual. Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab fikih Hanbali) mengalami penyiksaan oleh khalifah Al-Ma’mun karena memiliki pandangan yang berbeda dengan teologi yang dianut negara saat itu. Negara berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sementara Imam Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa Al-Qur'an bukan makhluk. Ibnu Rusyd (seorang tokoh filsafat Islam) diasingkan dan karya-karyanya dimusnahkan pada masa Khalifah Al-Manshur karena dianggap menyimpang dari syariat Islam dan lebih mengedepankan rasionalisme. Abu Manshur Al-Hallaj (seorang tokoh tasawuf falsafi) mendapatkan hukuman mati karena mengajarkan doktrin wadhatul wujud (pantheisme) yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam (Dr. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Tragedi Intelektual –Perselingkuhan Politik dan Agama--, 2003 hal. 115-269)
Peristiwa seperti itu masih terus terjadi hingga saat ini. Mahmoud Muhammad Taha dinyatakan murtad dan dihukum mati oleh pemerintah Sudan karena gagasan tafsir Al-Qur'an yang sejalan dengan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang dikembangkannya berlawanan dengan hukum Islam yang diterapkan secara revivalis oleh pemerintah berkuasa. Nawal el-Sadawi (intelektual feminis asal Mesir) mendapatkan vonis murtad dan harus bercerai dengan suaminya karena gagasan feminisme yang dikembangkannya berlawanan dengan pandangan ulama konservatif di Mesir. Masih banyak lagi deretan kasus seperti ini baik yang terekam dalam dokumentasi sejarah ataupun yang tidak terdokumentasikan. (Asnawi Ihsan, Islam Liberal: Implikasi Pemikiran Pluralisme Agama Terhadap Hukum Islam, 2003 hal. 19-20)
Beberapa kasus di atas memiliki akar persoalan yang sama. Yaitu berkaitan dengan ide yang dianggap bertentangan atau melanggar kemapanan doktrin yang sudah ada kemudian disikapi dengan pelarangan atas nama agama, baik yang dilakukan negara atau kelompok masyarakat. Argumentasi yang biasa dikemukakan untuk melakukan pelarangan pun tidak mengalami perubahan dari masa ke masa. Tidak jauh dari tuduhan merusak akidah, mengingkari prinsip-prinsip agama, melecehkan ajaran-ajaran agama, bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah, atau yang paling parah adalah membungkus kesesatan dengan Ayat-ayat Al-Qur'an dan menjadi agen kelompok non Muslim sebagai upaya untuk menghancurkan Islam dari dalam. Seperti Al-Ma’mun saat memutuskan untuk menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal termasuk golongan yang tidak mengenal Tuhan, buta akan Allah, jauh dari kebenaran agama, tidak bertauhid dan tidak beriman.
Pelarangan terhadap sesuatu perbuatan seringkali diyakini sebagai upaya untuk menegakan kehendak Tuhan. Disini barangkali letak persoalannya. Apakah ada selain Tuhan yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya yang menjadi kehendak Tuhan? Apakah ada manusia yang memiliki kewenangan untuk memposisikan diri sebagai wakil (tentara) Tuhan yang berhak untuk menentukan tindakan seseorang mendekati atau menjauhi kehendak Tuhan?
Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya . Disini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam arti reader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam.
Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil (tentara) Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas.
Khaled M. Abou El- Fadl dalam buku Atas Nama Tuhan –Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif-- memberikan rumusan yang jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh individu atau lembaga untuk meposisikan diri sebagai wakil Tuhan. Definisi wakil Tuhan menurutnya adalah individu atau lembaga yang memang diberikan kewenangan oleh orang lain atau masyarakat –bukan mengaku-ngaku dan memposisikan sendiri-- karena memiliki kompetensi yang cukup dan dipercaya untuk memberikan fatwa sebagai sebuah penafsiran atas Kehendak Tuhan.
Di bawah ini adalah 5 syarat yang harus dipenuhi wakil Tuhan dalam pandangan El- Fadl:
1.Kejujuran (honesty). Adalah sikap tidak berpura-pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang sejauhmana ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan.
2.Kesungguhan (diligence). Adalah upaya yang keras dan hati-hati karena bersentuhan dengan hak orang lain. Harus menghindari sikap yang dapat merugikan hak orang lain karena semakin besar pelanggaran terhadap orang lain semakin besar pula pertanggungjawaban di sisi Tuhan.
3.Kemenyeluruhan (comprehensiveness). Adalah upaya untuk menyelidiki kehendak Tuhan secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua nash yang relevan.
4.Rasionalitas (reasonableness). Adalah upaya penafsiran dan analisa terhadap nash secara rasional.
5.Pengendalian diri (self-restraint). Adalah tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Harus dibangun atas dasar “Wa Allah a’lamu bi ash-shawab” (Dan Tuhan lebih tahu yang terbaik)
Syarat-syarat yang diajukan El-Fadl bukan merupakan standar baku dan mutlak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil Tuhan. Namun setidaknya dapat dijadikan salah satu pendekatan dalam memahami sejauh mana otoritas Tuhan dapat diwakilkan kepada manusia atau lembaga.
Menarik disini untuk mengkaji dinamika yang terjadi di Indonesia. Kasus pelarangan (pengharaman), tudingan sesat dan menyesatkan, atau tuduhan memiliki pemikiran dan cara beragama yang keluar dari ajaran Islam seringkali terjadi. Baik itu dilakukan oleh lembaga keagamaan yang dianggap berkompeten mewakili pemerintah atau yang dilakukan oleh ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam sebagai representasi umat Islam.
Hemat penulis, pada sisi tertentu sikap seperti itu (otoritarian) dapat menjadi kontrol bagi gejala kebebasan berfikir agar tetap terus berada dalam kerangka berfikir Islami dengan tetap menjadikan Al-Qur'an dan Sunah sebagai pijakan. Namun pada sisi lain dapat menghambat perkembangan dan kemajuan peradaban Islam.
Kemunduran Islam akan terjadi manakala kreativitas kaum intelektual telah dibatasi. Hal tersebut sangat mungkin terjadi manakala setiap muncul gagasan yang berbeda dari mainstream yang ada di tengah masyarakat dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Apalagi sampai pada tidakan pembunuhan karakter, ancaman dan tindakan refresif lainnya. Padahal belum tentu benar-benar sesat dan menyimpang. Bisa saja hanya sebatas pada persoalan perbedaan penafsiran dan pemahaman. Di sini barangkali sering terjadi bias antara sesat dan berbeda. Definisi sesat dan menyimpang bukan lagi terletak pada metodologi berfikir yang digunakan. Apakah masih menggunakan cara berfikir yang dibenarkan menurut Islam atau tidak. Akan tetapi seringkali ukuran sesat dan menyimpang adalah berbeda dengan penafsiran yang dipegang oleh penguasa atau mayoritas umat Islam.
Sudah saatnya semua pihak untuk instrospeksi diri bahwa kebenaran dan agama Islam bukan hanya milik kita, lembaga atau orang-orang yang sefaham dengan kita.. Akan tetapi menjadi milik bagi semua makhluk Tuhan. Otoritas kebenaran benar-benar mutlak menjadi milik Tuhan. Mari kita singkirkan jauh-jauh nafsu syahwat kita yang sering muncul dalam wujud arogansi dan sikap otoriter untuk mengatakan bahwa cara beragama kita lebih baik dan benar dari orang lain yang memiliki penafsiran dan cara memahami (menjalankan) ajaran Islam berbeda dengan kita. Mari kita belajar menerima perbedaan sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri.
Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.