Wawancara dengan Ust. H. Iqbal Santoso, Pimpinan Umum Pondok Pesantren PERSIS Tarogong Garut dan Anggota Dewan Hisab Rukyat PP PERSIS.
Oleh: Asnawi Ihsan
Selama ini pemikiran Nurcholish Madjid cenderung ditolak oleh kalangan muslim puritan terutama PERSIS (Persatuan Islam) yang juga dikenal sebagai Wahabi-nya Indonesia. Menjadi sangat menarik ketika ada tokoh PERSIS yang secara jujur mengaku terinspirasi oleh Cak Nur dalam melakukan gerakan pembaharuan dan berpandangan bahwa pemikiran cak Nur identik dengan pemikiran keislaman PERSIS, terutama dalam konsep Tauhid. Beliau adalah Ust. H. Iqbal Santoso, Mudirul Am Pondok Pesantren Persis Tarogong Garut dan Anggota Dewan Hisab Rukyat PP PERSIS.
Untuk menggali lebih dalam topik ini, berikut petikan wawancara Asnawi Ihsan dari Center for Spirituality & Leadership dengan Ust. Iqbal 16 Juli 2006. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan penyusunan biografi Cak Nur yang dikomandani Ahmad Gaus AF.
Pak Iqbal, Siapa yang menginspirasi bapak untuk melakukan pembaharuan di pesantren PERSIS?
Cak Nur. Almarhum Nurcholish Madjid.
Menarik, karena pak Iqbal kan dari PERSIS dan mengelola pesantren PERSIS. Bagaimana bapak menjelaskan ini?
PERSIS kan dikelompokkan dengan Muhammadiyah sebagai kelompok pembaharuan. Tapi ketika saya melakukan pembaharuan di internal PERSIS justru malah mendapat tantangan yang sangat berat. Bahkan, saya hampir-hampir dikucilkan di PERSIS.
Pembaharuan seperti apa yang bapak lakukan dipesantren PERSIS?
Pertama pembaharuan kurikulum. Dulu orientasi pesantren PERSIS hanya kepada pengajaran (menamatkan) kitab tertentu. Sekarang berorientasi kepada tujuan. Misalnya katakanlah PERSIS itu konsen di bidang pemikiran fikih. Tapi setahu saya, di pesantren PERSIS itu tidak ada kurikulum fikih yang memadai. Kalau siswa tingkat aliyah dikalangan Nahdhiyyin menggunakan Kifayatul akhyar dalam mengkaji fikih, nah di PERSIS itu gak ada. PERSIS hanya menggunakan Bulughul Marom sebagai buku kajian fikih. Padahal Bulughul Marom itu bukan buku kajian fikih, tapi merupakan buku kumpulan hadis dari Ibnu Hajar al-Asqolani.
Selain Bulughul Marom, diajarkan juga kitab Hadis Bukhori. Kitab Hadis Bukhori juga yang dipelajari cuma bab fikihnya saja. Pada satu kesempatan saya bertanya, kenapa tidak ada kitab fikih? Jawabnya kalau di pesantren PERSIS kan tradisinya bagaimana menamatkan sebuah kitab. Sudah selesai sampai disitu.
Ketika saya dipercaya mengelola pesantren Persis maka saya melakukan perubahan. Tidak lagi hanya berorientasi menamatkan sebuah kitab yang itupun kitab yang tidak spesifik dalam membahas tema fikih. Padahal, pokok bahasannya adalah fikih. Saya mencoba melakukan pendekatan tematik dan tidak hanya fokus pada satu kitab saja. Misalnya dalam membahas topik tata cara sholat, maka akan dikaji tata cara sholat itu dari berbagai macam kitab. Sehingga akan mengetahui berbagai pandangan dan perdebatan banyak ulama mengenai sholat. Jadi, kalau melihat ada orang Islam yang cara sholatnya berbeda dengan cara PERSIS tidak perlu didebat karena kita sudah tahu itu pendapat siapa, apa alasan dan dasar hukumnya.
Yang kedua, dalam bidang akidah atau tauhid. PERSIS kan dikenal sebagai Wahabi Indonesia. Tapi sumber-sumber rujukan tauhidnya tidak ada. Akhirnya kami buat kurikulum mengenai tauhid.
Kemudian selain itu juga kita melakukan penyederhanaan kurikulum, dulu jumlah mata pelajaran hampir 30 mata pelajaran. Bahasa arab saja ada beberapa bidang studi. Ada nahwiyah, shorfiyah, i’lal, i’rob, imla’, insya’, dan lain-lain. Sekarang kita sederhanakan jadi bahasa arab saja. Begitu juga Fikih. Ada fara’id, ushul fikih, dan lain lain. Sekarang disatukan jadi Syar’iah, disederhanakan.
Dari segi manajemen kita juga melakukan pembaharuan. Kita berupaya melakukan demokratisasi. Secara tradisional pesantren itu kan lembaga keluarga. Tidak hanya dikalangan Nahdiyyin, di kalangan pesantren PERSIS juga gitu. Saya coba rombak agar lebih demokratis dan transparan. Artinya lebih mengedepankan kemampuan daripada keturunan. Sehingga anda lihat di pesantren saya tidak ada itu keluarga, paling istri saya itu juga karena dia punya kemampuan bukan karena seorang istri. Di struktur organisasi juga, demokratisasi di dalam kelembagaan, lebih transparan. Bahkan saya kira agak susah dicari di pesantren manapun, pimpinan pesantren dipilih oleh guru pakai suara terbanyak. Dulu gak pernah ada itu, ada masa jabatannya juga. Sangat jarang itu.
Dimana titik temu pembaharuan yang dilakukan Cak Nur dengan Tajdid PERSIS sehingga bapak berani melakukan perubahan mendasar dalam mengelola pesantren PERSIS?
Sebetulnya begini, kalau menurut saya tidak ada sesuatu yang baru dari gagasan Cak Nur, kalau boleh saya kutip Azyumardi Azra, Cak Nur itu sebetulnya seorang neotradisionalis muslim. Pembaharuan yang dilakukan Cak Nur sama saja dengan apa yang dilakukan Muhamadiyah dan PERSIS, yaitu kembali kepada Alquran. Coba saja kalau kita baca tulisan-tulisan cak Nur, semuanya sangat quranik, selalu bersumber ke Alquran dan mengutip mufasir-mufasir klasik dan modern. Jadi sebetulnya apa yang dilontarkan cak Nur bukan orisinal gagasan cak Nur. Justru kelebihannya adalah bagaimana ia bisa membahasakan pemikiran Ibnu Taymiyah, Sayid Qutb, dan para pembaharu lainnya.
Nah, itu kan sama saja dengan apa yang dilakukan PERSIS sejak dulu. Jadi tidak ada hal yang baru. Jalan saja. PERSIS begitu, cak Nur begitu. Ya sejalan saja. Hanya saja PERSIS itu lebih banyak menekanka pada aspek fikih sementara cak Nur pada aspek falsafah dan pemikiran. Sebenarnya saling melengkapi, hanya saja PERSIS sendiri sangat sulit mengakui.
Sebenarnya pembaharuan Islam itu seperti air dari sumber air yang sangat jernih kemudian mengalir dan di tengah jalan bercampur lumpur, kayu, ranting, sampah, dan limbah. Ketika sampai daerah perkotaan sudah menjadi kotor dan sudah tidak bisa digunakan dengan baik. Tidak bisa dipakai mandi, minum dan mencuci. Agar bisa digunakan kembali tidak perlu diganti dengan air baru, tapi bagaimana air sungai itu disuling (dibersihkan) supaya bisa digunakan lagi. Memang tidak seperti asli di sana, asal mata air. Ada kaporit, ada apa-apa, ada hal-baru, tapi fungsi utamanya adalah bagaimana untuk mandi, minum, dan sebagainya. Begitu juga ajaran Islam. Dari awal seperti zaman nabi, mengalir saja dan manakala sudah “kotor” tidak perlu mengganti dengan yang baru, tapi cukup mengembalikan kepada fungsinya.
Nah cak Nur sebetulnya begitu pemikirannya, hampir sama lah dengan PERSIS. Jadi pembaharuan itu adalah bagaimana mengembalikan air pada fungsi air itu sendiri. Kotoran dan sampah (dalam hal ini bid’ah, khurafat, takhayul) dibersihkan. Cak nur dalam masalah teologis anti Bid’ah, khurafat, dan Takhayul. Itu kan pemurnian tauhid. saya kira tidak jauh beda dengan pemikiran PERSIS. Jadi saya merasa sangat cocok ketika diskusi-diskusi masalah tauhid dengan cak Nur dimana diskusi-diskusi itu di PERSIS sangat kurang dibanding diskusi-diskusi masalah fikih. Pola fikirnya sama sebetulnya antara Cak Nur dan PERSIS, jadi yang mendekatkan saya dengan cak Nur adalah karena keberangkatan tajdid itu, tajdid itu adalah mengembalikan kepada Alquran dan Sunah.
Jika cak Nur sejalan dengan PERSIS dalam ide tajdid, kenapa PERSIS begitu gigih menolak bahkan mendiskreditkan cak Nur?
Itu akibat dari kurang silaturahim saja. Saya punya keyakinan yang amat kuat, kalo cak Nur diskusi dengan orang PERSIS pasti nyambung. Sangat kuat. Saya itu sebetulnya bercita cita, cita cita saya belum kesampean, bahkan cak Nur sendiri juga pernah ngomong, “Iqbal, saya itu belum pernah diundang sama PERSIS”.
Saya sebetulnya mau memfasilitasi itu, saya anggota dewan tafkir di PB PERSIS, saya mau mengudang cak Nur tapi cak Nurnya keburu sakit-sakitan, saya yakin kalau ada diskusi dan dialog dengan cak Nur dengan PERSIS, pola pikir cak Nur akan diterima. Ya sebagai manusia jika cak Nur ada kekeliruan kan itu manusia, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi kalau diskusi saya yakin. Kenapa saya yakin? Bapak saya itu adalah orang yang sangat anti terhadap pemikiran cak nur, Pak syihabudin pendiri pesantren saya. Saya ajak beliau diskusi tiap bulanan di pasar raya, baru dua kali ikut, bilang, “ini bagus ini,” akhirnya dia tertarik akhirnya saya kasih buku cak Nur, terus bapak saya bilang, “oh ya ini sama dengan PERSIS!!!”. Kalo saja ada komunikasi. Yang kurang itu kan tidak ada komunikasi. Keburu ada orang yang menghantam. Informasi yang sampai ke PERSIS tentang cak Nur informasi yang jelek. Informasi yang positifnya gak masuk.
Soal lain nih pak, betul nggak informasi bahwa bapak juga selain memotivasi murid-murid bapak ke timur tengah, juga memotivasi untuk melanjutkan studi ke Paramadina juga?
Oh iya, Macem-macem lah, jadi kita supaya punya pengetahuan yang global tidak hanya satu warna saja. Ketika paramadina membuka jurusan falsafah, saya mengirim anak-anak terbaik saya kesana. Bahkan juga tahun ini mungkin saya kirim lagi.
Kalau bapak melihat keperibadian cak Nur seperti apa?
Dia kan orang yang sangat sederhana, sederhana dan terbuka, saya seringkali kritik beliau, saya sering kali berdebat mengenai pemikiran-pemikiran keislaman, dan beliau tidak masalah. Karena ciri orang PERSIS tuh suka berdebat. Kalo cak Nur lupa nama saya, dia panggil saya, “hei PERSIS!!” “Si PERSIS!” Di PERSIS tuh ada dua yang dekat dengan cak Nur. Saya dan Pipip ahmad Rifa’i Hasan. Jadi di jidat saya tuh kaya ada tulisan PERSIS. Kadang-kadang kalau memanggil Iqbal juga dengan embel-embel PERSIS, jadi Iqbal PERSIS.
Walaupun saya tinggal di Garut, kalau ada seminar, diskusi, kajian yang pembicaranya cak Nur saya sering hadir. Karena selalu ada gagasan-gagasan baru. Bukan gagasan baru sebenarnya. Kehebatan cak Nur adalah bisa menyederhanakan pemikiran yang rumit menjadi sederhana, itu saja. Misalnya masalah-masalah teologis yang dulu susah sekali bagaimana cara memahaminya, setelah dijelaskan cak Nur menjadi lebih sederhana dan mudah dicerna. Kalau cak Nur dianggap kontroversial itu karena beliau banyak mengutip orang-orang yang kontroversial juga, seperti Ibnu Taymiyah dan Rasyid Ridha. Cuma banyak orang menganggap itu gagasan orisinal cak Nur, padahal bukan.
Saya kira cukup sampai disini pak, terimakasih.
Sama-sama