• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
Blue Orange Green Pink Purple

Pemikiran & Spiritualitas Islam Kontemporer

Insan Kamil atau manusia sejati adalah manusia yang memiliki kesadaran dan kemauan memaksimalkan potensi akal, ruh dan fisiknya secara seimbang untuk membaca setiap pesan Tuhan yang selalu menghampirinya setiap saat. Lalu berupaya menarik makna dan merangkainya menjadi sebuah cerita utuh dari perjalanan panjang dalam mematangkan jiwa, hingga saatnya tiba bagi kita mempersaksikan seluruh peran yang telah kita mainkan dalam drama kosmik ini kepada Sang Sutradara Tunggal.

Warna-warni Hukum Perkawinan Beda Agama

Warna-warni Hukum Perkawinan Beda Agama
Oleh ASNAWI IHSAN, S.H.I.
Harian Pikiran Rakyat 19-04-05

DALAM paragraf kedua dari tulisan tersebut, "AM" berpandangan bahwa model perkawinan yang dibenarkan menurut Allah SWT adalah perkawinan yang didasarkan pada satu akidah. Lebih jelas lagi dalam paragraf ketiga "AM" menegaskan bahwa berdasarkan ajaran Islam, kehidupan yang bahagia hanya bisa didapatkan dari perkawinan yang memiliki keyakinan agama yang sama. Sebaliknya jika suami-istri berbeda agama, akan menimbulkan banyak persoalan.


Pada bagian selanjutnya "AM" memberikan pendapat bahwa Islam dengan tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Begitu juga pria Muslim dilarang menikahi perempuan musyrik. Adapun hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita kitabiyah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang. Namun secara implisit "AM" lebih cenderung memihak pandangan yang mengharamkan.

Di bagian akhir artikel tersebut, "AM" menawarkan solusi bahwa untuk menyelesaikan pesoalan perkawinan beda agama, aturan yang dibuat negara mengenai boleh tidaknya harus berpijak pada hukum agama. Dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.

Akar teologis
Akidah (teologi) dalam tradisi pemikiran Islam tidak lebih dari sebuah rumusan konsepsional mengenai pandangan ketuhanan dan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hal tersebut dengan menjadikan Alquran dan sunah sebagai pijakan. Dalam sejarah Islam klasik terdapat beberapa aliran pemikiran akidah (teologi) seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Syi'ah dll. Status kebenaran dari masing-masing aliran akidah (teologi) ini pun bersifat ijtihad. Artinya tidak dapat diposisikan sebagai kebenaran mutlak. Pada perkembangan selanjutnya, aliran-aliran formal tersebut pun mencair. Saat ini, para pemikir keagamaan lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan kontemporer, seperti isu pluralisme.

Persoalan krusial berkaitan dengan pluralisme adalah, apakah Islam sebagai satu-satunya agama yang benar? Atau agama selain Islam juga membawa kebenaran dan keselamatan? Dari sinilah dimulai perdebatan kelompok eksklusif dengan kelompok inklusif-pluralis. Pemikir eksklusif berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diterima di sisi Allah. Jalan keselamatan untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat hanya melalui keimanan yang diformalkan melalui syahadat lalu diikuti dengan menjalankan aturan-aturan keagamaan (syariat).

Adapun kelompok inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri. Setiap agama selama memiliki konsep ketuhanan (monoteisme), mengajarkan kebaikan dan mengimani kehidupan akhirat tidak dapat dikatakan agama yang salah dan sesat. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, kedua kelompok ini acapkali merujuk pada sumber yang sama, Alquran surat Ali Imran/3:19, 64, 85, Al-Baqarah/2:62, Al-Maidah/5:48 dan An-Nahl/16:36. Kondisi ini menjadi sangat menarik di mana kita dapat melihat bahwa Islam begitu luas membuka ruang ijtihad bagi para penganutnya untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya -- dengan tetap berpegang pada sumber autentik ajaran Islam -- dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.

Pandangan teologis sebagai kerangka logis dalam memahami aspek-aspek fundamental ajaran agama akan memberikan pengaruh kuat terhadap perilaku penganutnya. Dalam tradisi Islam, sekumpulan formulasi pemahaman Islam yang digali dari Alquran dan sunah melalu proses ijtihad untuk mengatur prilaku manusia -- termasuk persoalan perkawinan -- disebut fikih. Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa di dalamnya tidak mengandung kesalahan dan kekeliruan.

Dengan demikian fikih pun bersifat ijtihad. Artinya dapat disimpulkan bahwa semua pendapat yang berkaitan dengan hukum perkawinan beda agama pun bersifat relatif. Mungkin benar dan mungkin juga salah. Seorang eksklusif cenderung akan menjadikan fikih eksklusif sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Begitupun sebaliknya dengan seorang yang inklusif-pluralis. Di sinilah kita dapat menemukan benang merah mengapa kelompok eksklusif melarang perkawinan beda agama sementara kelompok inklusif-pluralis membolehkannya.

Walaupun terjadi perbedaan yang tajam, kedua belah pihak tidak berhak untuk mengklaim bahwa pendapat kelompoknya lebih benar dan pendapat kelompok lain keliru. Sebab dalam tradisi hukum Islam dibenarkan terjadinya perbedaan ketetapan hukum atau ketetapan hukum yang beragam dalam satu kasus hukum. Atau yang dikenal dengan istilah ikhtilaf. Adapun ikhtilaf dalam tradisi hukum Islam dapat dibagi ke dalam 2 kategori utama.

Pertama, ikhtilaf tadaddi, yaitu ikhtilaf kontradiktif. Di mana terjadi pertentangan dalam ketetapan hukum dan secara logis tidak dapat dipertemukan, misalnya sebuah mazhab mengatakan haram dan mazhab lainnya mengatakan halal. Kedua, ikhtilaf tanawwu', yaitu ikhtilaf variatif. Di mana ketetapan-ketetapan hukum yang bertentangan yang variasi-variasinya bisa diterima secara logis dan bisa dipertemukan. Misalnya variasi duduk Rasulullah saw. saat salat. (Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, 2005:199)

Keragaman hukum
Perkawinan adalah urusan muamalah. Sesuai dengan kaidah hukum Islam, hukum asal dari persoalan muamalah adalah mubah (boleh) hingga ditemukan dalil-dalil syar'i yang mengharamkannya (Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah illa ma dalla addalil 'ala tahrimihi). Jika demikian, hukum asal perkawinan beda agama adalah boleh hingga ditemukan dalil-dalil yang mengharamkannya. Dalil dalil yang menjadi rujukan mengenai perkawinan beda agama adalah Alquran surat Al-Baqarah/2:221, Al-Maidah/5:5, dan Al-Mumtahanah/60:10.

Dari kajian mendalam terhadap tiga ayat ini dengan didukung kajian sunah, perilaku sahabat, pendapat-pendapat ulama terdahulu, dan pertimbangan sosiokultural maka terlahirlah ketetapan hukum mengenai perkawinan beda agama itu. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas diduga berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan menetapkan hukum haram. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas diduga tidak berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan menetapkan hukum mubah (boleh). Perbedaan ketetapan hukum ini terjadi karena pemahaman yang berbeda mengenai definisi dan batasan term musyrik dan ahlulkitab. Karena memang tidak ada kesepakatan ulama mengenai kelompok mana saja yang masuk dalam kategori musyrik dan ahlulkitab.

Di bawah ini beberapa ketetapan hukum mengenai perkawinan beda agama.

(1) Hukum perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim
Sayid Sabiq (Fiqh As-Sunnah, jilid II:95) mengatakan bahwa ulama fikih sepakat mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan pria non-Muslim dari golongan mana pun sebagaimana dilansir dalam Q.S. Al-Baqarah/2:221. Menurut Ali Ash-Shabuni (Rawai Al-Bayan -tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Juz I:289) Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahlulkitab dan non-Muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.

Maulana Muhammad Ali (Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir, terjemahan, 1993:119) mengatakan bahwa Alquran sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Namun dalam praktiknya mayoritas umat Islam sejak dulu memang menolak model perkawinan tersebut. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasari atas ijtihad bahwa seorang wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim akan menemukan banyak problem jika tinggal dalam keluarga non-Muslim.

Mahmoud Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim (Dekonstruksi Syari'ah/2001:345-346) berpendapat bahwa larangan pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang di mana wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama di depan hukum, larangan ini sudah tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan itu, penelitian sosial yang dilakukan Noryamin Aini mengenai praktik perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil mengejutkan. Di mana figur ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Data ini meruntuhkan asumsi dan mitos klasik seperti yang dikutip Maulana Muhammad Ali. Untuk itu, tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan beda agama. (Gatra: 21 Juni 2003).

Zainun Kamal berpendapat bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan pria non-Muslim mana pun selain pria kafir musyrik Quraisy. Menurutnya, Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 bermaksud melarang perkawinan wanita Muslim dengan pria kafir musyrik Quraisy, bukan lainnya. Pendapat ini diambil dari Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, Jilid 4 hal 19, Al- Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Jilid 4 hal 92 dan Al-Fakhruddin Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, Jilid 29 hal 305.

(2) Hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik dan Ahlulkitab.
Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlulkitab adalah haram. Sama haramnya dengan perempuan musyrik. Alasannya karena perempuan ahlulkitab juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat yang membolehkan perkawinan ini Q.S. Al-Maidah/5:5 dianulir (naskh) dengan Q.S. Al-Baqarah/2:221. (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz II:36).

Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal melarang perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita Yahudi dan Nashrani. (Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam/1996:50). Sekalipun ahlulkitab tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena yang tepenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahlulkitab. (Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Ar'ba'ah, Juz IV:176).
Rasyid Ridha berpandangan bahwa maksud dari Q.S. Al-Baqarah/2:221 dan Al-Mumtahanah/60:10 adalah untuk melarang perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik Arab. Dengan demikian kebolehannya bukan hanya menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasrani saja, melainkan juga dengan wanita-wanita mana pun. Baik Majusi, Shabi'ah, Hindu, Budha, orang-orang Cina dan Jepang sekalipun. Karena menurutnya mereka itu termasuk ahlulkitab yang berisi tauhid sampai sekarang. (Muhammmad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Jilid VI:193)

Tawaran solusi konteks Indonesia
Menanggapi solusi yang ditawarkan "AM" bahwa negara harus berpijak pada hukum agama berkaitan dengan perkawinan beda agama, secara prinsip penulis sepakat. Namun penulis lebih menekankan bahwa negara harus bersikap akomodatif terhadap keragaman hukum perkawinan beda agama. Tidak seperti yang selama ini terjadi dengan masih berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang jelas-jelas memihak pendapat yang melarang perkawinan beda agama secara mutlak.

Akibat dari keberpihakan itu, kedua produk hukum ini tidak efektif dan banyak dilanggar masyarakat. Saran penulis untuk menghindari sikap diskriminatif dan menciptakan hukum yang efektif, negara harus merevisi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan menghilangkan poin-poin yang menutup peluang perkawinan beda agama. Selain itu negara juga harus membuat undang-undang catatan sipil yang mampu mengakomodasikan semua kepentingan elemen di masyarakat. Catatan sipil harus mampu memfasilitasi pencatatan peristiwa-peristiwa penting termasuk perkawinan beda agama.***

Penulis, Mantan Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Alumnus Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Read More 0 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

Dasar-dasar Sikap Pluralis Saya Temukan di PII: Sebuah Pengakuan Subyektif

Ketika berlangsung dialog “Menggali Paradigma Baru Beragama” di Vihara Vipassana Graha, Lembang, kerjasama MADIA-INCRES, pada 20-22 April 2001, seorang peserta muslim, Asnawi Ihsan, menuturkan pengalaman personal itu dengan sangat hidup. Ia bercerita tentang masa kecilnya dalam dunia pesantren, yang kemudian membawanya aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di mana ia menemukan pluralitas dalam Islam. “Kemudian saya masuk IAIN Jakarta dan di situ saya bersentuhan dengan trend-trend pemikiran klasik dalam dunia Islam,” katanya. Pemahaman keagamaannya semakin meluas ketika ia juga aktif di Yayasan Paramadina, di mana ia bersentuhan dengan semangat inklusivisme dan Pluralisme. (Trisno S. Susanto & Martin L. Sinaga, Meretas Horison Dialog: Catatan Dari Empat Daerah, Madia, 2001 hal.105)


Kutipan di atas hanya ingin menggambarkan bahwa PII telah memberikan makna tertentu dalam proses perjalanan hidup saya. Saya akui, saat saya menginjak tahun keempat di salah satu pesantren modern di Jakarta, setiap malam saya tidak bisa tidur setelah mengikuti pelajaran kitab hadis dimana sang Ustadz mengutip sebuah hadis tentang perpecahan umat Islam. Menurut hadis itu, Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang akan selamat, yaitu Ahli sunnah wal-Jama’ah. Ustadz itu kembali menegaskan, bahwa Ahli Sunnah Wal-Jamaah itu adalah kelompok sunni yang didirikan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi. Selain aliran itu seluruhnya akan masuk neraka! Hati kecil saya membatin, “Berapa jumlah manusia di dunia ini? Dari seluruh manusia itu berapa yang Islam? Dari yang Islam itu berapa yang Sunni? Dari Sunni itu berapa yang saleh dan berhak atas surga? Jika demikian, sedikit sekali penghuni surga! Sama saja murka Tuhan lebih besar daripada kasih sayang-Nya!” Saya menanggap ini tidak mungkin, pasti ada yang kurang tepat pemahaman ustadz tersebut terhadap hadis ini. Sejak saat itu, saya bertekad untuk mencari jawaban atas kegelisahan saya tersebut. Maka saya memutuskan untuk pindah ke pesantren salafi di Bogor untuk mendalami ilmu Tafsir, ilmu Hadis dan ilmu Alat yang menurut saya sangat dibutuhkan untuk membedah alquran dan hadis.

Di Bogor itulah pada tahun 1995 saya mulai aktif di PII. Saat mengikuti Leadership Basic Training saya belum menemukan banyak hal. Begitupun dalam proses berstruktur dan beraktifitas di PII. Kejutan penting baru terjadi saat saya mengikuti Mental Training di Bandung Tahun 1996 saat mengikuti materi Perbandingan Mazhab Teologi dan Fikih. Diskusi inilah yang ternyata saya tunggu-tunggu selama 2 tahun dalam hidup saya. Dalam diskusi ini, sang Instruktur dengan sangat piawai membongkar bangunan doktrin teologis yang sudah tertanam kuat dalam pikiran masing-masing peserta. Satu persatu dari kami diminta untuk menyampaikan pandangan Islam versi kami. Saya yang terdidik dalam kultur sunni menjelaskan Islam versi sunni. Kawan saya yang terdidik dalam kultur wahabi menjelaskan Islam versi Wahabi, begitu pun yang lainnya. Tapi kami sangat terkejut saat instruktur tersebut mampu menunjukkan bukti-bukti kelemahan dari setiap mazhab yang selama ini kami yakini paling benar. Menurutnya, kenapa semua dapat dicari titik lemahnya? Karena semua mazhab itu adalah hasil pikiran manusia juga. Tidak lebih sekedar pemahaman manusia atas Alquran dan Sunnah. Kami diajarkan untuk bersikap proporsional dalam meletakan hal yang sakral dan hal yang profan. Hal yang mutlak dan hal yang relatif. Disanalah kami diajarkan untuk bersikap saling menghargai dan tidak lagi bersikap eksklusif terhadap salah satu mazhab pemikiran dan fikih dalam Islam. Betapa saya harus mengakui bahwa dasar-dasar sikap pluralis saya temukan di PII.

Semenjak itu saya semakin rajin mendalami kitab-kitab teologi, diantaranya Al-Milal wa An-Nihal karya Sahristani, Maqolat Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushollin, Ushul al-Khamsah karya Al-Jabiri, al-Munyat al-amal fi al-milal wan an-nihal karya Abdul Qohir Al-Baghdadi dan beberapa karya ulama lain hingga saya menemukan jawaban atas kegelisahan saya mengenai keselamatan umat Islam diluar sunni. Kesimpulan terakhir saya, seharusnya hadis itu dipahami dengan cermat dan tidak tekstual. Nabi Muhammad hanya ingin memberikan standarisasi bahwa sejauh apapun kalian berbeda pandangan dan terpecah dalam kelompok yang banyak adalah hal yang lumrah. Tidak perlu khawatir dan saling memusuhi, semuanya akan selamat selama menjadikan alquran dan sunnah sebagai landasan. Nampaknya nabi sangat paham terhadap karakter bangsa arab sebagai generasi awal umat Islam yang mudah terpecah belah. Lihat saja, tidak lama setelah nabi wafat, kasus perseteruan antara Ali dan Muawiyah menjadi pemicul lahirnya firqah (sekte) dalam Islam. Dari peristiwa itu lahir sekte Khawarij dan Syi’ah. Lalu muncul Murjiah, Jabbariyah, Qaddariyah, Sunni, Mu’tazilah, Wahabi dan lain-lain. Sejak itulah terjadi tradisi saling mengkafirkan dalam internal Islam. Sejak itu saya bisa memahami mengapa nabi menyatakan demikian dan mengapa saya harus mengalami kegelisahan ini serta apa yang harus saya lakukan. Begitulah pergulatan pemikiran pada diri saya di usia SMA yang proses pematangannya saya peroleh di PII.

Selesai dari problem pluralitas dalam Islam, kegelisahan saya berikutnya adalah apakah hanya orang Islam yang selamat? Apakah orang di luar Islam tidak akan selamat? Nampaknya saya harus berpikir dan mencari jawaban mengenai doktrin keselamatan. Pergulatan pemikiran saya dalam mencari jawaban mengenai keselamatan orang-orang di luar Islam lebih banyak dimatangkan melalui kajian dan diskusi di Paramadina. Proses ini mungkin tidak relevan jika dibahas panjang lebar dalam tulisan ini. Tapi intinya saya harus bersyukur, saya dapat menemukan jawaban yang memuaskan dengan tetap merujuk kepada Alquran dan Sunnah.

Saat ini, saya dalam proses mencari titik temu dan membongkar agoransi antara kelompok syari’at, sufi, teolog dan filosof. Saya begitu resah melihat banyak orang yang mengambil jalan sufi namun bersikap ekstrem menganggap orang yang belum masuk dalam salah satu kelompok sufi, amal ibadahnya sia-sia karena belum mengenal Tuhan. Atau orang yang mengambil jalan syariat namun bersikap kaku hanya sibuk pada persoalan simbol dan menganggap kelompok sufi, filsafat dan teolog sebagai ahli bid’ah. Atau juga kelompok teolog yang sibuk dengan kategorisasi kafir, musyrik, zindiq bahkan di internal umat Islam sendiri. Atau juga para penggemar filsafat yang menjadikan rasionalitas sebagai satu-satunya alat pencapai kebenaran dengan menafikan potensi batin kaum sufi bahkan mencap mereka kaum irasional. Saya ingin mencari solusi agar semua kelompok itu bisa hidup berdampingan dan saling menghargai. Saya berharap, di CSL, lembaga tempat saya bekerja sekarang saya dapat menyelesaikan problem ini.

Demikian perjalanan hidup saya yang sampai saat ini masih terus berlangsung untuk mematangkan jiwa saya dan menjalankan misi hidup saya. Di setiap tempat dan waktu, saya selalu berusaha menangkap pesan yang Tuhan sampaikan untuk diri saya. Karena keterbatasan saya, kadang Tuhan harus berulang-ulang menyampaikan pesan untuk satu fase pematangan jiwa agar saya bisa memahami dengan baik apa maksud Tuhan. Namun, betapa saya ingin tampil baik dalam berbagai peran yang telah saya sepakati dengan Tuhan saat melakukan perjanjian primordial ketika di alam rahim sebagai persinggungan kehendak Tuhan dengan kebebasan manusia. Betapa saya ingin pulang ke Tuhan sebagai “nafs al-muthmainnah” dimana antara Tuhan dan saya saling mengikhlaskan (raadhiatan mardiyyah) karena seluruh isi perjanjian itu telah saya jalankan sesuai kemampuan dan kapasitas saya.

Semoga bermanfaat dan kita bisa saling bercermin. Karena saya yakin, setiap anggota PII memiliki cara yang berbeda dalam memaknai aktifitasnya di PII. Berbeda pula motivasi dan kebutuhannya. Berbeda pula misi hidup dan perjanjian primordialnya dengan Tuhan harus melalui cara apa saja untuk mematangkan jiwanya dan tahap apa yang harus diselesaikan di PII. Jadi, tidak ada yang perlu diperdebatkan dan seharusnya masing-masing belajar menjadi partner yang berguna satu sama lain. Kita sudah memilih sekaligus ditakdirkan menjadi anggota PII. Begitupun kita sudah memilih dan Ditakdirkan untuk saling berinteraksi satu sama lain hingga saat ini. Tinggal kita mainkan peran kita dengan baik dalam drama kosmik ini. Toh semua cuma peran yang harus kita mainkan. Dan PII pun tidak lebih dari sebuah pentas pertunjukan. Saat sukses tidak perlu terlalu gembira dan saat gagal tidak perlu menyalahkan diri sendiri sepanjang masa. Karena yang harus kita pertanggungjawabkan ke Tuhan bukan soal sukses atau gagal. Tapi mampukah kita memainkan peran sukses dengan baik atau memainkan peran gagal juga dengan baik.
Read More 1 Comment | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

PASSING OVER: Menyelami Spiritualitas Agama-agama

Kemarin, Selasa 19 Juni 2007 adalah pertemuan perdana dari 5 kali pertemuan program Kajian Islam Eksekutif (KIE) dengan tema PASSING OVER: Menyelami Spiritualitas Agama-agama.

KIE sekarang menjadi salah satu programku di kantor(CSL). Diselenggarakan di Financial Club, Graha Niaga dengan para peserta kalangan eksekutif dibatasi maksimum 15 orang. Program ini sebenarnya sudah berjalan sejak 12 tahun ke belakang. dulunya dikelola Paramadina dan sudah 4 tahun ini dikelola CSL.


Alasanku mengangkat tema ini karena aku cukup gelisah dengan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat kita berkaitan dengan masalah spiritualitas. Banyak dari masyarakat kota yang saat ini mengalami kegelisahan spiritual lalu mencari kompensasi ke gerakan new age atau kelompok-kelompok spiritual lalu meninggalkan agamanya (berpindah agama atau menjadi universalis tanpa agama).

Fenomena ini terjadi setidaknya karena dua alasan, yaitu semakin kuatnya radikalisme dan formalisme yang nyaris terjadi di setiap agama. Kedua, semakin teralineasinya manusia dari semesta sebagai pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang cenderung menempatkan semesta secara mekanik dan parsial.

Aku berfikir perlunya kalangan eksekutif dibekali dengan pemahaman yang utuh mengenai sisi esoterik (esensi) maupun sisi eksoterik (Form) dari sebuah agama. sehingga, mereka tidak melihat secara terpisah kedua unsur agama tadi lalu menempatkan satu di atas yang lain. atau memilih yang satu dan meninggalkan yang lain.

Akupun sengaja tidak hanya mengangkat spiritualitas dalam tradisi Islam, tapi juga mengangkat spiritualitas dari prespektif agama lain seperti hindu, katolik dan buddha. hal ini tidak lain agar para peserta mengenal spiritualitas agamanya sendiri, lalu mencoba "melintas" ke dalam spritualitas agama-agama lain lalu "kembali" ke agamanya semula. hal ini pun menurutku sangat penting karena sebagian dari kita cenderung berpikir "rumput tetangga selalu terlihat lebih Indah". Tepatnya sering beranggapan bahwa ritual agama lain itu terlihat lebih mendalam dan bermakna dibandingkan dengan ritual agama sendiri. lalu tidak jarang yang lantas mencoba-coba ritual agama lain atau saat sudah cocok ya berpindah agama. Untuk menghindari hal demikian itulah poin penting dari "melintas".

Pada pertemuan pertama kemarin Aku mengundang Pak Kautsar Azhari Noer (Guru Besar Perbandingan Agama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)sebagai Narasumber dari tema "Pengantar Passing Over". Untuk pertemuan kedua, bulan Juli aku mengundang Gede Natih (tokoh agama Hindu) yang akan mengangkat spiritualitas dalam agama Hindu. di Pertemuan ketiga di bulan Agustus aku meminta Romo Ismartono, SJ (Pakar Spiritualitas Katolik) untuk mengajak peserta menyelami spiritualitas katolik. di Bulan September aku mengundang Bhante Phra Kamsai Sumano Thera (Tokoh Buddha aliran Theravada) untuk membimbing peserta mendalami spiritualitas Buddha. Setelah peserta mengembara secara spiritual, di bulan Oktober peserta akan kembali diajak "pulang" dalam spiritualitas Islam. Materi ini akan disajikan oleh Dr.Alwi Shihab.

Setelah program ini selesai, aku berencana mengumpulkan makalah-makalah dari para pembicara dan melengkapinya dengan beberapa tulisan lain, lalu akan aku jadikan buku dengan tema Spiritualitas Agama-agama. Menurutku, buku ini sangat penting juga untuk menjadi buku panduan bagi para pemula yang ingin melakukan pengembaraan spiritual. Semoga saja semua berjalan lancar.

Ada beberapa hal penting yang aku rekam dari apa yang disampaikan Pak Kautsar Azhari Noer pada pertemuan pertama kemarin sebagai diskusi pengantar yang juga layak untuk kita simak. uraian dari Pak Kautsar lebih banyak menjelaskan pengalaman para mistikus/spiritualis yang melakukan pengembaraan spiritual. silahkan menyimak.

Anthony de Mello (1931-1987), seorang imam dan guru spiritual Katolik kelahiran India, ketika memberikan sebuah kata pengantar untuk sebuah karyanya The Song of the Bird, yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Burung Berkicau mengungkapkan:

Buku ini dikarang untuk orang dengan pandangan keagamaan atau duniawi yang
berbeda-beda. Akan tetapi kami tidak menyembunyikan bahwa kami seorang imam
Katolik. Kami mendalami secara luas tradisi-tradisi mistis yang bukan-Kristen,
bahkan bukan-keagamaan, dan kami sangat dipengaruhi dan diperkaya olehnya. Akan
tetapi kami selalu kembali kepada Gereja kami, yakni Gereja Katolik, karena dialah
Bunda Rohani kami. Walaupun kami amat menyadari batas dan kadang-kadang juga
sempitnya, namun kami juga sadar Gerejalah yang telah membentuk dan membina
kami, sehingga kami menjadi orang seperti sekarang ini.


Melalui kata-kata ini, Anthony menegaskan identitasnya sebagai seorang imam Katolik. Namun demikian, Kekristenannya, atau, lebih tepatnya, Kekatolikannya, tidak menghalanginya melakukan pengembaraan spiritual ke dalam tradisi-tradisi mistis bukan-Kristen, bahkan bukan-keagamaan. Pengembaraan spiritual itu bukan tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk memperkaya pengalaman keagamaan dengan tradisi-tradisi keagamaan lain. Pengembaraan itu tidak mesti membuat sang pengembara menetap selama-lamanya di tempat pengembaraan, tetapi ia akan kembali kepada agamanya. John S. Dunne, seorang profesor teologi di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, menyebut pengembaraan spiritual ke dalam jantung agama lain seperti ini disebut ”melintas” (”passing over”) dan menyebut kembali dari tempat pengembaraan kepada agama semula “kembali” (“coming back”).

Karya Anthony yang disebut tadi, Burung Berkicau, berisi cerita-cerita, baik yang kuno maupun yang modern. Cerita-cerita itu dikumpulkan dari berbagai tradisi keagaman Buddha, Hindu, dan Kristen, dari aliran Zen dan Sufi, dan dari daerah Hasisi (Yaman Utara), Rusia dan Tiongkok. Bila cerita-cerita ini dibaca dengan cara tertentu, cerita-cerita ini akan menyebabkan perkembangan spiritual pembacanya.

Anthony mengatakan bahwa ada tiga cara membaca:

1. Bacalah sebuah cerita satu kali. Kemudian bacalah cerita yang lain. Cara membaca
seperti ini hanya memberikan hiburan.
2. Bacalah sebuah cerita dua kali. Adakanlah refleksi. Terapkanlah cerita itu pada
kehidupan Anda. Dengan cara ini Anda akan mencicipi teologi. Sangat membantu,
apabila cara ini dilakukan bersama dalam kelompok kecil yang setiap anggotanya
diberi kesempatan untuk membagi-bagikan hasil refleksinya atas cerita itu. Dengan
demikian Anda akan termasuk kelompok teologi.
3. Bacalah cerita itu sekali lagi setelah Anda melakukan refleksi seperti disebut di
atas. Ciptakan keheningan di hati Anda dan biarkan cerita itu menyampaikan makna
yang dalam kepada Anda: suatu makna yang jauh melampaui kata-kata dan refleksi.
Cara ini secara bertahap akan mengembangkan kepekaan Anda terhadap kehidupan
mistis.


Atau, ingat-ingatlah cerita itu sepanjang hari dan biarkanlah keharuman dan getaran nadanya membayangi Anda. Biarkanlah cerita itu berbicara kepada hati Anda, bukan kepada otak Anda. Cara ini mungkin membuat Anda menjadi seorang mistikus. Penulisan buku cerita memang bertujuan supaya pada akhirnya pembaca mendapatkan pengalaman mistis.

Perhatikan pengembaraan Anthony ke dalam tradisi Hindu tentang hubungan Tuhan dan alam. Orang Hindu menggambarkan hubungan antara Tuhan dan alam bagaikan hubungan antara penari dan tarian. Tuhan adalah Sang Penari dan alam adalah tarian-Nya. Sebuah tarian berbeda dengan seorang penari, tetapi tarian tidak bisa ada jika yang menarikannya tidak ada. Tarian mustahil dipisahkan dari penari. Begitu gerak penari terhenti, tariannya pun tiada lagi.

Dalam usahanya mencari Tuhan, kata Anthony, manusia terlalu banyak berpikir, terlalu banyak merenung, terlalu banyak berbicara. Bahkan ketika memandang tarian yang kita sebut ciptaan, ia terus-menerus berpikir, berbicara dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain, merenung, menelaah, dan berfilsafat. Kata-kata, kata-kata, kata-kata belaka. Suara-suara, suara-suara, suara-suara belaka.4 Anthony memperingatkan para pembaca karyanya agar tidak terlalu banyak berpikir, terlalu banyak merenung, terlalu banyak berbicara tentang Tuhan. Sikap yang benar yang dianjurkan oleh guru spritual ini adalah seperti apa yang dikatakannya berikut ini: ”Diam dan lihatlah tarian itu. Hanya melihat saja: sebuah bintang, sekuntum bunga, sehelai daun layu, seekor burung, sebongkah batu... Satu lambaian tarian saja sudah cukup. Lihatlah. Dengarlah. Hiruplah. Sentuhlah. Nikmatilah. Dan kiranya tak lama kemudian engkau akan menjumpai-Nya, Sang Penari sendiri.

Banyak mistikus dan guru spiritual melakukan pengembaraan spiritual ke dalam jantung agama-agama lain untuk memperkaya pengalaman keagamaan atau spiritual mereka sendiri. Beberapa nama dapat kita sebutkan disini: Sri Ramakrishna, Mahatma Gandhi (dari tradisi Hindu), Robbi Shoni Labowitz (dari tradisi Yahudi), Thomas Merton, Bede Griffiths, William Johnton (dari tradisi Kristen), Dara Shikoh, ’Abdur-Rahman Chisti, Inayat Khan, dan Syaikh Ragip Frager (dari tradisi Sufi). Mereka adalah para mistikus yang berani melakukan pengembaraan spiritual ke dalam agama-agama lain. Mereka tetap menganut agama mereka sendiri meskipun melakukan pengembaraan spiritual ke dalam jantung agama-agama lain. Pengembaraan spiritualnya tidak membuat mereka berpindah agama ke dalam (salah satu) agama-agama lain.

Banyak mistikus dan penempuh jalan spiritual mempunyai kecenderungan untuk melakukan pengembaraan spiritual ke dalam jantung agama-agama lain karena mereka menekankan dimensi esoterik agama. Mereka lebih menekankan esensi daripada manifestasi, lebih menekankan substansi daripada bentuk, lebih menekankan realitas daripada simbol, lebih menekankan kualitas daripada identitas, lebih menekankan nilai daripada label, lebih menekankan ”isi” daripada ”kulit.” Mereka tidak betah dengan formalisme kaku yang kering dari ”air spiritual” yang memberikan kepuasan bagi orang yang haus akan air spiritual dan memberikan kesejukan bagi orang kepanasan yang mencari ”udara sejuk spiritual.” Robbi Shoni Labowitz, seorang pembimbing spiritual dari tradisi kabbalistik Yahudi yang bermukim di Florida, Amerika Serikat, merasakan kekakuan Yudaisme masa kecilnya sebagai agama yang menekankan formalisme kaku yang dipahat pada batu, tidak pernah berubah. Ia merasa tidak nyaman dengan agamanya itu sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya. Pada usia duapuluhan mengakui dirinya sebagai seorang ”kabbalis-feminis-Taois-humanis-universalis” yang kebetulan dilahirkan sebagai Yahudi.

Pada suatu hari, ketika mengikuti kelas sore filsafat Timur di Universitas (Katolik) Barry, tubuhnya mulai gemetar karena kesadaran yang mengagumkan. Ia mengisahkan pengalaman spiritual itu dengan mengatakan,

Tubuhku mulai gemetar dengan sebuah kesadaran yang mengagumkan. Selama diskusi
tentang Taoisme [di kelas itu], kerinduanku yang dalam akhirnya menerobos filter-filter yang bertahun-tahun dari indoktrinasi Yahudi Ortodoks kepada sebuah kesadaran yang mendalam bahwa Tuhan dan daku adalah satu. Jalan, sang Tao, Jalan dari Yang Satu -- tidak ada yang lain. Tuhan dan udara adalah satu; Tuhan dan bunyi adalah satu; Tuhan ada dalam segala sesuatu. Tuhan ada dalam daku. Tuhan ada dalam daku.


Shoni menemukan dalam Taoisme sesuatu yang baru dan mempesona yang tidak ditemukannya dalam Yudaisme Ortodoks yang menekankan formalisme yang kaku dan kering. Melalui Taoisme, ia menyadari bahwa Tuhan adalah dekat, ada di mana-mana, ada dalam segala sesuatu. Dalam agama lamanya, ia merasakan Tuhan sangat jauh, otoriter, yang suka menghakimi, pemarah, dan cemburu, meskipun kadang-kadang pengasih.

Shoni mengisahkan pengembaraan spiritualnya yang sangat mengesankan ke dalam tradisi-tradisi Timur, khususnya Buddhisme dan Taoisme. Ia mengatakan,

Sepanjang perjalanan untuk menemukan Tuhan dalam diriku dan keesaan dalam alam
semesta, aku tertarik kepada Buddhisme dan Taoisme, mengadakan perjalanan di India
dan Nepal, dan mempelajari meditasi dan yoga. Praktik-praktik spiritual dalam tradisi-tradisi Timur membantuku untuk mencopoti filter-filter dan ketakutan-ketakutansehingga aku bisa melihat warisan dan asal-usulku sendiri melalui lensa cinta. Aku mampu kembali dan menjelajahi Yudaisme dengan suatu cara baru yang menyeluruh. Dan dalam penjelajahan itu, aku menemukan bahwa jalan Buddhis bodhisattva –pengabdian untuk melayani kebaikan dalam seluruh kehidupan yang memiliki indra untuk melihat dan merasa – adalah bagian dari kekuatan rahasia dan kemuliaan Yudaisme mistis juga.

Bagi Shoni, tradisi-tradisi mistis Timur membantunya untuk memahami warisan dan asal-usul tradisi Yahudinya melalui cinta. Ia juga menemukan kembali sesuatu yang berharga tetapi hilang dari tradisi Yahudi, yaitu nilai pengabdian untuk melayani seluruh kehidupan makhluk yang mempunyai indra, melalui pengembaraannya ke dalam tradisi Buddhis.


Memasuki jantung agama lain bukan berarti menenggelamkan diri di dalamnya untuk selama-lamanya sehingga lupa keluar untuk kembali kepada agama semula; berangkat dari agama semula, memasuki daerah agama lain, dan kembali kepada agama semula. Sikap inilah yang ditawarkan John S. Dunne ketika ia mengatakan,

Apa yang kelihatan yang bisa terjadi adalah suatu fenomena yang dapat kita sebut
”melintas” (”passing over”), melintas dari satu budaya kepada budaya lain, dari satu
cara hidup kepada cara hidup lain, dari satu agama kepada agama lain. Ini diikuti oleh suatu proses yang sama dan berlawanan yang kita sebut ”kembali” (”coming back”),
kembali dengan wawasan baru kepada budaya sendiri, cara hidup sendiri, agama
sendiri. Orang suci (yang cocok untuk) zaman kita, tampaknya, bukanlah seorang tokoh
seperti Gautama, Yesus, atau Muhammad, seorang yang dapat mendirikan satu agama
dunia, tetapi seorang tokoh seperti Gandhi, seorang manusia yang melintas dengan
pengertian yang simpatik dari agamanya sendiri kepada agama-agama lain dan kembali
lagi dengan pengertian yang simpatik dari agamanya sendiri. Melintas dan kembal,
tampaknya, adalah petualangan spiritual zaman kita.


Sikap Dunne, seperti tergambar dalam kutipan di atas, sangat radikal sehingga ia mengatakan bahwa Gautama, atau Yesus, atau Muhammad bukan tokoh untuk zaman kita ini. Kebanyakan orang Buddhis, Kristen, dan Muslim, saya kira tidak menyetujui penolakan Dunne terhadap peneladanan Gautama, atau Yesus, atau Muhammad sebagai tokoh untuk zaman kini karena ketiga tokoh ini adalah tokoh teladan sepanjang zaman bagi pengikut mereka masing-masing. Bagi komunitas Muslim, yang perlu adalah memperkaya pemahaman dan peneladanan mereka akan Muhammad dengan pemahaman dan peneladanan para penganut agama-agama lain akan tokoh-tokoh teladan mereka.

Yang patut disetujui dari Dunne adalah keberaniannya melakukan apa yang disebut ”melintas” (”passing over”) yang harus diikuti oleh apa yang disebutnya ”kembali” (”coming Back”). ”Melintas” berarti berani melakukan pengembaraan spiritual ke dalam agama lain. ”Kembali” berarti kembali dari tempat pengembaraan itu kepada agama semula dengan membawa pandangan baru yang memperkaya agama semula itu. Dunne melukiskan bahwa proses pengembaraan itu mulai dari ”tanah air” agama seseorang, terus melintasi ”negeri ajaib” agama-agama lain dan berakhir ”di tanah air” agamanya sendiri. Jika ini benar, arah pengembaraan itu banyak tergantung kepada sifat agama tempat berangkat dan kembali. Gandhi mulai dan berakhir dengan Hinduisme; ia melintas terutama ke dalam Kristen, dan juga Islam tetapi ia selalu kembali kepadan Hinduisme. Seorang Kristen, sesuai dengan ini akan mulai dan berakhir dengan Kristen, seorang Muslim, dan seorang Buddhis mulai dan berakhir dengan agama mereka masing-masing. Apabila diperhatikan lebih dalam, akan ditemui suatu titik berangkat dan kembali yang lebih pokok, yaitu kehidupan sesorang itu sendiri. Seseorang harus melintasi dan mengubah pendirian supaya masuk ke dalam kehidupan Yesus, meskipun ia sendiri seorang Kristen, dan kemudian kembali kepada kehidupannya sendiri. Dari sudut pandang ini, semua agama, meskipun agama sendiri seseorang, merupakan bagian ”negeri ajaib” dalam pengembaraan ini. Akhirnya kehidupan pribadi juga yang merupakan ”tanah air”-nya.10

Dalam pengertian ini, pada hemat saya, sebenarnya ”tanah air” terakhir yang permanen tidak pernah ada bagi seorang pengembara spiritual karena pengembaraan itu tidak pernah berhenti sepanjang hayat. ”Tanah air” dapat berubah menjadi ”negeri ajaib” yang harus dilintasi untuk menemukan ”tanah air” baru. Finalitas permanen ”tanah air” agama seseorang hanya ada sejauh berada dalam lingkaran daerah agama yang dianutnya, yang tidak lain adalah ”tanah air”-nya juga. Pengembaraan tetap berlanjut secara terus-menerus dalam lingkaran daerah itu setelah melintasi ”negeri ajaib,” dan pengembaraan ke ”negeri ajaib” bisa pula dilakukan berulang-ulang.

Ketika mempelajari kosep-konsep filosofis kunci Ibn ’Arabi, Lao Tzu, dan Chuang Tzu melalui karya Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism,11 saya menyaksikan, seperti ditunjukkan oleh penulisnya, bahwa konsep-konsep filosofis kunci Ibn ’Arabi sangat dekat dengan konsep-konsep filosofis kunci Lao Tzu dan Chuang Tzu. Dalam hal ini, bagi saya, pemikiran-pemikiran Lao Tzu dan Cuang Tzu bukanlah bahaya yang merusak Islam tetapi adalah khazanah berharga yang memperkaya sistem metafisis Islam versi Sufisme yang diwakili oleh Ibn ’Arabi.

Pandit Usharbudh Arya, seorang tokoh Hindu aliran Wedanta Yoga, mengungkapkan sikap penyerahan total dirinya kepada Tuhan (islâm) dengan kata-kata sebagai berikut:

Jika aku tidak mengatupkan tanganku dalam mengabdi kepada-Mu, maka lebih baik
aku tidak mempunyai tangan. Jika aku melihat dengan mataku suatu benda yang di
dalamnya aku tidak melihat-Mu secara langsung atau tidak langsung, wahai Tuhanku,
maka lebih baik aku tidak mempunyai mata. Jika aku mendengar dengan telingaku
suatu kata, yang secara langsung atau tidak langsung, bukan nama-Mu, wahai
Tuhanku, lebih baik aku tidak mempunyai telinga. Jika aku mengucapkan dengan
mulutku suatu kata tunggal yang di dalamnya tidak terkandung suatu keseluruhan
hymne pujian kepada-Mu, wahai Tuhan, maka biarkanlah telinga tidak ada lagi. Dalam
setiap kerdipan pikiranku adalah Engkau yang cahayanya menjadi pikiranku, dan jika
ada suatu cahaya di dalam pikiranku yang tidak aku ketahui sebagai kerdipan-Mu,
maka buanglah pikiranku jauh-jauh dari daku, wahai Tuhan, tetapi datanglah dan
berdiamlah secara langsung dalam daku.


Kata-kata Arya di atas mengingatkan saya pada sikap pasrah, kepatuhan, dan ketundukan kepada Allah swt (islâm) sebagai konsekuensi tauhid. Sikap pasrah ini diungkapkan dalam al-Qur’an sebagai berikut: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama berserah diri [kepada Allah].” (6:162-63).

Sikap pasrah yang diungkapkan oleh Arya secara jujur itu harus diakui sebagai sikap pasrah total dengan sepenuh jiwa dan raganya kepada Tuhan. Saya mengagumi sikap pasrah (islâm) orang Hindu itu dan iri kepadanya karena menyaingi – jika tidak boleh dikatakan melebihi – sikap pasrah (islâm) yang saya lakukan selama ini. Namun demikian, keyakinan saya kepada Islam tidak akan berkurang sedikit pun, apalagi untuk berpindah agama ke dalam Hinduisme. Sebaliknya kata-kata, atau lebih tepatnya, doa, Arya itu mengilhami saya untuk menumbuhkan sikap pasrah kepada Allah swt (islâm) yang lebih sempurna agar tidak kalah dengan sikap pasrah orang yang agamanya tidak dinamai “Islam” itu.

Agama yang dianut oleh seseorang ibarat ”tanah air” baginya, dan agama-agama lain ibarat ”negeri ajaib” atau ”negeri asing.” Ibarat ”tanah air,” suatu agama harus dicintai oleh penganutnya sendiri. Ibarat ”negeri asing,” agama-agama lain tidak mesti dijauhi dan dimusuhi, tetapi, sebaliknya, lebih baik dikenal, dikunjungi, diajak berdialog, dan didekati agar dapat mengambil pengalaman yang sangat berharga untuk memperkaya pengalaman keagamaan dan spiritual dalam agama sendiri. Pengalaman yang diperoleh di ”negeri asing” agama-agama lain dapat digunakan untuk memperkaya pengalaman untuk pembangunan ”tanah air” agama sendiri.

Rasa takut untuk melakukan pengembaraan spiritual ke dalam jantung agama-agama lain harus dihilangkan. Tentu saja tidak semua orang ingin melakukan pengembaraan itu. Orang yang ingin melakukannya harus mempersiapkan ”bekal” pengetahuan yang memadai tentang agama sendiri dan pengetahuan tentang agama-agama lain. Jangan sampai ia tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang agamanya sendiri ketika mmasuki ”negeri asing” agama-agama lain. Yang lebih penting lagi adalah bahwa ia harus berangkat dari agamanya sendiri, dan, setelah mengembara ke dalam jantung agama-agama lain, kembali dengan wawasan baru kepada agamanya.

Demikianlah beberapa catatan dari diskusi tersebut. Mudah-mudahan Bermanfaat.
Read More 0 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

PEMIKIRAN CAK NUR, DITERIMA dan DIKAGUMI ANAK-ANAK MUDA ‘66


Wawancara dengan K.H. Dr. Miftah Farid, Aktifis ‘66, saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat
oleh: Asnawi Ihsan

Pergeseran peta politik dari Orde Lama ke Orde Baru memberikan implikasi terhadap perkembangan pemikiran dan sikap politik umat Islam. Sebagian masih sangat gigih untuk memperjuangkan Islam Politik dan sebagian lagi mencoba mencari alternatif melalui jalan Islam Kultural.

Sekelompok Anak-anak muda Muslim yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam mencoba mencari formulasi alternatif yang tepat. Di bawah kepemimpinan Nurcholish Madjid, HMI menawarkan konsep Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang selanjutnya menjadi basis ideologi HMI.


Tak lama setelah itu, cak Nur mempopulerkan gagasan Islam Yes, Partai Islam, No, sebagai kritik terhadap kecenderungan elit Islam yang hanya fokus terhadap perjuangan Islam politik dan melupakan bahwa masih banyak persoalan yang lebih penting dari sekedar perjuangan untuk meraih kekuasaan. Tepatnya, cak Nur menawarkan pendekatan kultural dalam mengembangkan Islam dan lebih mengedepankan sikap moderat. Cak Nur berupaya menjustifikasi ide demokrasi, HAM, pluralisme dan isu-isu global lainnya melalui kitab suci dan literatur Islam.

Apa yang ditawarkan cak Nur menarik perhatian anak-anak muda Islam saat itu. Cak Nur cukup dikagumi dan dianggap sebagai sosok ideolog dan leader yang mampu melakukan penyegaran di saat umat Islam sedang mengalami krisis kepemimpinan dan arah gerakan. Dawam Rahardjo, Oetomo Danandjaya, Usep Fathuddin dan lain-lain mendukung penuh perjuangan cak Nur. Begitupun dengan anak-anak muda di daerah-daerah seperti apa yang terjadi dengan Miftah Farid yang saat itu menjadi Ketua Umum HMI Cabang Surakarta.

Berikut wawancara Asnawi Ihsan dari Center for Spirituality & Leadership (CSL) bersama K.H. Miftah Farid, Ketua MUI Jawa Barat seputar pengaruh pemikiran cak Nur terhadap anak-anak muda aktifis ’66. Wawancara ini sebagai bagian dari proses pengumpulan data untuk penyusunan biografi cak Nur.




Kapan bapak pertama kali mengenal dan berinteraksi dengan cak Nur?

Saya pertama kali mengenal cak Nur di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ketika cak Nur menjadi salah seorang ketua Pengurus Besar. Hubungan semakin dekat saat Cak Nur menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI dan saya menjadi Ketua Umum Cabang Surakarta.


Apa alasan bapak untuk dekat dengan cak Nur?

Saya pengagum Nurcholish. semua anak-anak HMI saat itu kagum dengan cak Nur. karena pada saat 1966 anak-anak muda sedang mengalami krisis kepemimpinan dan arah gerakan Islam. Sangat diperlukan adanya seorang ideolog yang dapat diterima oleh semua pihak. Nah, cak Nur memenuhi persyaratan itu. Ia mampu merumuskan arah gerakan Islam yang moderat dengan merujuk kepada Alquran dan literatur Islam. Ungkapan-ungkapan cak Nur waktu itu sesuatu yang baru meskipun sebenarnya itu bukan hal baru tapi ia mampu merumuskan dengan bahasa yang mudah dipahami. Rumusan konsep itu kemudian dinamakan Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Kader-kader setelah mempelajari NDP menjadikan NDP sebagai pedoman dan merasa bangga dengan rumusan itu. Terasa sekali manfaat NDP bagi arah gerakan dan perjuangan HMI dalam memberikan kontribusi untuk agama dan bangsa.

Hubungan saya dengan cak Nur semakin dekat saat kami banyak membahas NDP di tingkat nasional maupun daerah. Terutama untuk training-training pendalaman NDP untuk daerah Surakarta.

Saya juga mengajar di ITB dengan membawa rekomendasi dari cak Nur. Ia mengirim surat ke orang-orang ITB seperti pak Sadzaly dan bang Imad yang isinya menyampaikan bahwa saya layak untuk menangani studi agama di ITB.


Bagaimana sikap bapak saat cak Nur mnegeluarkan gagasan Islam Yes, Partai Islam No,?

Nah, sampai pada saat tahun ’70-an ketika ada isu Islam, Yes, Partai Islam, No, kita cukup kaget di Bandung. Kemudian kawan-kawan di Bandung mulai ramai mendiskusikan masalah ini. Sikap Mang Endang (Endang Saefudin Anshari) sangat keras terhadap cak Nur. Akhirnya kita rencanakan untuk mengadakan pertemuan di Bandung, di kediaman Ir ahmad Nu’man. Kita minta penjelasan cak Nur dan saat itu secara pribadi saya dapat memahami arah pemikiran cak Nur mengapa menyampaikan gagasan tersebut.


Lalu?

Di Bandung itu juga kan ada mang Endang, beliau termasuk yang paling depan menentang gagasan cak Nur. Kemudian kita juga kenal yang namanya Abdul Qodir Jaelani yang agak keras. Adapun saya, karena punya kedekatan secara pribadi saya tidak ingin polemik dan ingin tahu langsung.


Apa yang bapak obrolkan dengan cak Nur saat itu?

Setelah cak Nur selesai bicara, saya bisa memahami apa yang disampaikan cak Nur melalui pendekatan ushul fikih. Bahwa sekulerisasi cak Nur itu kan pada urusan-urusan muamalah bukan urusan ibadah. Jadi ya pada prinsipnya banyak sekali peluang kita untuk berijtihad di sana. Toh kata nabi, untuk urusan ibadah aku lebih tahu, tapi untuk urusan dunia kalian ya kalian yang lebih tahu. Jadi ya selesai masalah saya dengan cak Nur.


Jadi, bisa saya tegaskan, bahwa pak miftah setuju dengan gagasan cak Nur?

Berdasarkan prinsip tadi, ya, saya setuju.


Setelah pak miftah merasa clear dengan cak Nur, ada tidak upaya bapak untuk menetralisir atau menengahi polemik cak Nur dengan kawan-kawannya di bandung? Atau meluruskan informasi ke masyarakat umum misalnya?

Barangkali kalau sampai menetralisir saya enggak. Cuma paling tidak saya dan beberapa teman-teman bisa memahami. Jadi tidak terlampau tajam polemik ini. Ini kan cuma beda pendapat saja. Pa Endang Saefudin memang agak tajam. Pa Abdul Qodir Jaelani juga. Saya berusaha memahami saja.


Dimata bapak, bagaimana sisi pribadi cak Nur?

Pertama, beliau itu sangat pintar dan yang kedua sangat tangguh. Dikritik habis-habisan masih bisa tegar seperti itu. Kalau bukan cak Nur mungkin sudah KO. Bahkan, sampai ada saudara kita yang mengatakan cak Nur laisa minnaa (bukan golongan orang beriman). Yang lebih parah lagi, sudah meninggal dunia pun masih difitnah macam-macam. Allahumma yarham allahumma ya allah (Pak Miftah membaca doa tersebut dengan nada lirih dan sedikit meneteskan air mata). Tapi itu resiko lah. Ibnu Sina juga diperlakukan begitu. Cak Nur masih bisa tangguh menerima kritik.


Lalu, bagaimana ide-ide cak Nur ke depan?

Berkaitan dengan ide-ide cak Nur, menurut saya akan terus hidup, dalam arti semangat pencerahan yang diperjuangkan cak Nur akan terus hidup. Bahwa di sana-sini terjadi koreksi atau perbaikan itu normal-normal saja.


Saya fikir cukup dulu pak.

Iya baik. Baik. Itu dulu yang bisa saya sampaikan.
Read More 1 Comment | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

NURCHOLISH MADJID dan PERSIS: TIDAK PERLU DIPERTENTANGKAN!


Wawancara dengan Ust. H. Iqbal Santoso, Pimpinan Umum Pondok Pesantren PERSIS Tarogong Garut dan Anggota Dewan Hisab Rukyat PP PERSIS.
Oleh: Asnawi Ihsan


Selama ini pemikiran Nurcholish Madjid cenderung ditolak oleh kalangan muslim puritan terutama PERSIS (Persatuan Islam) yang juga dikenal sebagai Wahabi-nya Indonesia. Menjadi sangat menarik ketika ada tokoh PERSIS yang secara jujur mengaku terinspirasi oleh Cak Nur dalam melakukan gerakan pembaharuan dan berpandangan bahwa pemikiran cak Nur identik dengan pemikiran keislaman PERSIS, terutama dalam konsep Tauhid. Beliau adalah Ust. H. Iqbal Santoso, Mudirul Am Pondok Pesantren Persis Tarogong Garut dan Anggota Dewan Hisab Rukyat PP PERSIS.



Untuk menggali lebih dalam topik ini, berikut petikan wawancara Asnawi Ihsan dari Center for Spirituality & Leadership dengan Ust. Iqbal 16 Juli 2006. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan penyusunan biografi Cak Nur yang dikomandani Ahmad Gaus AF.


Pak Iqbal, Siapa yang menginspirasi bapak untuk melakukan pembaharuan di pesantren PERSIS?

Cak Nur. Almarhum Nurcholish Madjid.


Menarik, karena pak Iqbal kan dari PERSIS dan mengelola pesantren PERSIS. Bagaimana bapak menjelaskan ini?

PERSIS kan dikelompokkan dengan Muhammadiyah sebagai kelompok pembaharuan. Tapi ketika saya melakukan pembaharuan di internal PERSIS justru malah mendapat tantangan yang sangat berat. Bahkan, saya hampir-hampir dikucilkan di PERSIS.


Pembaharuan seperti apa yang bapak lakukan dipesantren PERSIS?

Pertama pembaharuan kurikulum. Dulu orientasi pesantren PERSIS hanya kepada pengajaran (menamatkan) kitab tertentu. Sekarang berorientasi kepada tujuan. Misalnya katakanlah PERSIS itu konsen di bidang pemikiran fikih. Tapi setahu saya, di pesantren PERSIS itu tidak ada kurikulum fikih yang memadai. Kalau siswa tingkat aliyah dikalangan Nahdhiyyin menggunakan Kifayatul akhyar dalam mengkaji fikih, nah di PERSIS itu gak ada. PERSIS hanya menggunakan Bulughul Marom sebagai buku kajian fikih. Padahal Bulughul Marom itu bukan buku kajian fikih, tapi merupakan buku kumpulan hadis dari Ibnu Hajar al-Asqolani.

Selain Bulughul Marom, diajarkan juga kitab Hadis Bukhori. Kitab Hadis Bukhori juga yang dipelajari cuma bab fikihnya saja. Pada satu kesempatan saya bertanya, kenapa tidak ada kitab fikih? Jawabnya kalau di pesantren PERSIS kan tradisinya bagaimana menamatkan sebuah kitab. Sudah selesai sampai disitu.

Ketika saya dipercaya mengelola pesantren Persis maka saya melakukan perubahan. Tidak lagi hanya berorientasi menamatkan sebuah kitab yang itupun kitab yang tidak spesifik dalam membahas tema fikih. Padahal, pokok bahasannya adalah fikih. Saya mencoba melakukan pendekatan tematik dan tidak hanya fokus pada satu kitab saja. Misalnya dalam membahas topik tata cara sholat, maka akan dikaji tata cara sholat itu dari berbagai macam kitab. Sehingga akan mengetahui berbagai pandangan dan perdebatan banyak ulama mengenai sholat. Jadi, kalau melihat ada orang Islam yang cara sholatnya berbeda dengan cara PERSIS tidak perlu didebat karena kita sudah tahu itu pendapat siapa, apa alasan dan dasar hukumnya.

Yang kedua, dalam bidang akidah atau tauhid. PERSIS kan dikenal sebagai Wahabi Indonesia. Tapi sumber-sumber rujukan tauhidnya tidak ada. Akhirnya kami buat kurikulum mengenai tauhid.

Kemudian selain itu juga kita melakukan penyederhanaan kurikulum, dulu jumlah mata pelajaran hampir 30 mata pelajaran. Bahasa arab saja ada beberapa bidang studi. Ada nahwiyah, shorfiyah, i’lal, i’rob, imla’, insya’, dan lain-lain. Sekarang kita sederhanakan jadi bahasa arab saja. Begitu juga Fikih. Ada fara’id, ushul fikih, dan lain lain. Sekarang disatukan jadi Syar’iah, disederhanakan.

Dari segi manajemen kita juga melakukan pembaharuan. Kita berupaya melakukan demokratisasi. Secara tradisional pesantren itu kan lembaga keluarga. Tidak hanya dikalangan Nahdiyyin, di kalangan pesantren PERSIS juga gitu. Saya coba rombak agar lebih demokratis dan transparan. Artinya lebih mengedepankan kemampuan daripada keturunan. Sehingga anda lihat di pesantren saya tidak ada itu keluarga, paling istri saya itu juga karena dia punya kemampuan bukan karena seorang istri. Di struktur organisasi juga, demokratisasi di dalam kelembagaan, lebih transparan. Bahkan saya kira agak susah dicari di pesantren manapun, pimpinan pesantren dipilih oleh guru pakai suara terbanyak. Dulu gak pernah ada itu, ada masa jabatannya juga. Sangat jarang itu.


Dimana titik temu pembaharuan yang dilakukan Cak Nur dengan Tajdid PERSIS sehingga bapak berani melakukan perubahan mendasar dalam mengelola pesantren PERSIS?

Sebetulnya begini, kalau menurut saya tidak ada sesuatu yang baru dari gagasan Cak Nur, kalau boleh saya kutip Azyumardi Azra, Cak Nur itu sebetulnya seorang neotradisionalis muslim. Pembaharuan yang dilakukan Cak Nur sama saja dengan apa yang dilakukan Muhamadiyah dan PERSIS, yaitu kembali kepada Alquran. Coba saja kalau kita baca tulisan-tulisan cak Nur, semuanya sangat quranik, selalu bersumber ke Alquran dan mengutip mufasir-mufasir klasik dan modern. Jadi sebetulnya apa yang dilontarkan cak Nur bukan orisinal gagasan cak Nur. Justru kelebihannya adalah bagaimana ia bisa membahasakan pemikiran Ibnu Taymiyah, Sayid Qutb, dan para pembaharu lainnya.

Nah, itu kan sama saja dengan apa yang dilakukan PERSIS sejak dulu. Jadi tidak ada hal yang baru. Jalan saja. PERSIS begitu, cak Nur begitu. Ya sejalan saja. Hanya saja PERSIS itu lebih banyak menekanka pada aspek fikih sementara cak Nur pada aspek falsafah dan pemikiran. Sebenarnya saling melengkapi, hanya saja PERSIS sendiri sangat sulit mengakui.

Sebenarnya pembaharuan Islam itu seperti air dari sumber air yang sangat jernih kemudian mengalir dan di tengah jalan bercampur lumpur, kayu, ranting, sampah, dan limbah. Ketika sampai daerah perkotaan sudah menjadi kotor dan sudah tidak bisa digunakan dengan baik. Tidak bisa dipakai mandi, minum dan mencuci. Agar bisa digunakan kembali tidak perlu diganti dengan air baru, tapi bagaimana air sungai itu disuling (dibersihkan) supaya bisa digunakan lagi. Memang tidak seperti asli di sana, asal mata air. Ada kaporit, ada apa-apa, ada hal-baru, tapi fungsi utamanya adalah bagaimana untuk mandi, minum, dan sebagainya. Begitu juga ajaran Islam. Dari awal seperti zaman nabi, mengalir saja dan manakala sudah “kotor” tidak perlu mengganti dengan yang baru, tapi cukup mengembalikan kepada fungsinya.

Nah cak Nur sebetulnya begitu pemikirannya, hampir sama lah dengan PERSIS. Jadi pembaharuan itu adalah bagaimana mengembalikan air pada fungsi air itu sendiri. Kotoran dan sampah (dalam hal ini bid’ah, khurafat, takhayul) dibersihkan. Cak nur dalam masalah teologis anti Bid’ah, khurafat, dan Takhayul. Itu kan pemurnian tauhid. saya kira tidak jauh beda dengan pemikiran PERSIS. Jadi saya merasa sangat cocok ketika diskusi-diskusi masalah tauhid dengan cak Nur dimana diskusi-diskusi itu di PERSIS sangat kurang dibanding diskusi-diskusi masalah fikih. Pola fikirnya sama sebetulnya antara Cak Nur dan PERSIS, jadi yang mendekatkan saya dengan cak Nur adalah karena keberangkatan tajdid itu, tajdid itu adalah mengembalikan kepada Alquran dan Sunah.


Jika cak Nur sejalan dengan PERSIS dalam ide tajdid, kenapa PERSIS begitu gigih menolak bahkan mendiskreditkan cak Nur?

Itu akibat dari kurang silaturahim saja. Saya punya keyakinan yang amat kuat, kalo cak Nur diskusi dengan orang PERSIS pasti nyambung. Sangat kuat. Saya itu sebetulnya bercita cita, cita cita saya belum kesampean, bahkan cak Nur sendiri juga pernah ngomong, “Iqbal, saya itu belum pernah diundang sama PERSIS”.

Saya sebetulnya mau memfasilitasi itu, saya anggota dewan tafkir di PB PERSIS, saya mau mengudang cak Nur tapi cak Nurnya keburu sakit-sakitan, saya yakin kalau ada diskusi dan dialog dengan cak Nur dengan PERSIS, pola pikir cak Nur akan diterima. Ya sebagai manusia jika cak Nur ada kekeliruan kan itu manusia, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi kalau diskusi saya yakin. Kenapa saya yakin? Bapak saya itu adalah orang yang sangat anti terhadap pemikiran cak nur, Pak syihabudin pendiri pesantren saya. Saya ajak beliau diskusi tiap bulanan di pasar raya, baru dua kali ikut, bilang, “ini bagus ini,” akhirnya dia tertarik akhirnya saya kasih buku cak Nur, terus bapak saya bilang, “oh ya ini sama dengan PERSIS!!!”. Kalo saja ada komunikasi. Yang kurang itu kan tidak ada komunikasi. Keburu ada orang yang menghantam. Informasi yang sampai ke PERSIS tentang cak Nur informasi yang jelek. Informasi yang positifnya gak masuk.


Soal lain nih pak, betul nggak informasi bahwa bapak juga selain memotivasi murid-murid bapak ke timur tengah, juga memotivasi untuk melanjutkan studi ke Paramadina juga?

Oh iya, Macem-macem lah, jadi kita supaya punya pengetahuan yang global tidak hanya satu warna saja. Ketika paramadina membuka jurusan falsafah, saya mengirim anak-anak terbaik saya kesana. Bahkan juga tahun ini mungkin saya kirim lagi.


Kalau bapak melihat keperibadian cak Nur seperti apa?

Dia kan orang yang sangat sederhana, sederhana dan terbuka, saya seringkali kritik beliau, saya sering kali berdebat mengenai pemikiran-pemikiran keislaman, dan beliau tidak masalah. Karena ciri orang PERSIS tuh suka berdebat. Kalo cak Nur lupa nama saya, dia panggil saya, “hei PERSIS!!” “Si PERSIS!” Di PERSIS tuh ada dua yang dekat dengan cak Nur. Saya dan Pipip ahmad Rifa’i Hasan. Jadi di jidat saya tuh kaya ada tulisan PERSIS. Kadang-kadang kalau memanggil Iqbal juga dengan embel-embel PERSIS, jadi Iqbal PERSIS.

Walaupun saya tinggal di Garut, kalau ada seminar, diskusi, kajian yang pembicaranya cak Nur saya sering hadir. Karena selalu ada gagasan-gagasan baru. Bukan gagasan baru sebenarnya. Kehebatan cak Nur adalah bisa menyederhanakan pemikiran yang rumit menjadi sederhana, itu saja. Misalnya masalah-masalah teologis yang dulu susah sekali bagaimana cara memahaminya, setelah dijelaskan cak Nur menjadi lebih sederhana dan mudah dicerna. Kalau cak Nur dianggap kontroversial itu karena beliau banyak mengutip orang-orang yang kontroversial juga, seperti Ibnu Taymiyah dan Rasyid Ridha. Cuma banyak orang menganggap itu gagasan orisinal cak Nur, padahal bukan.


Saya kira cukup sampai disini pak, terimakasih.

Sama-sama
Read More 0 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post
Newer Posts Older Posts Home

Asnawi Ihsan

  • About Me!
      Lulusan Fak. Syari'ah&Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2003)dengan judul skripsi "Islam Liberal:Implikasi Pemikiran Pluralisme Agama Terhadap Hukum Islam".
      Selengkapnya
  • Pengikut!

    Kategori

    • Beda Agama (1)
    • Hukum Islam (4)
    • Khutbah (1)
    • Perkawinan (1)
    • Perkawinan Beda Agama (1)
    • Pluralisme (1)
    • Sejarah (1)
    • Shalat (1)
    • Shalat Wustho (1)
    • Spiritual (1)
    • Tasawuf (3)
    • Tokoh Islam (2)

    Arsip

    • May 2009 (1)
    • August 2008 (1)
    • March 2008 (2)
    • December 2007 (1)
    • September 2007 (1)
    • June 2007 (5)
    • March 2007 (2)
    Technorati Tags: pernikahan beda agama, perkawinan beda agama, pernikahan, perkawinan, islam, liberal, spiritual, tasawuf, hukum islam, tokoh islam, pluralis

    Labels

    • Hukum Islam (4)
    • Tasawuf (3)
    • Tokoh Islam (2)
    • Beda Agama (1)
    • Khutbah (1)
    • Perkawinan (1)
    • Perkawinan Beda Agama (1)
    • Pluralisme (1)
    • Sejarah (1)
    • Shalat (1)
    • Shalat Wustho (1)
    • Spiritual (1)
  • Search






    • Home
    • Posts RSS
    • Comments RSS
    • Edit

    © Copyright Pemikiran & Spiritualitas Islam Kontemporer. All rights reserved.
    Designed by Teguh Wiguna | Bloggerized by teguhwiguna.co.cc
    brought to you by Kudu Aing Deui!

    Back to Top