• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
Blue Orange Green Pink Purple

Pemikiran & Spiritualitas Islam Kontemporer

Insan Kamil atau manusia sejati adalah manusia yang memiliki kesadaran dan kemauan memaksimalkan potensi akal, ruh dan fisiknya secara seimbang untuk membaca setiap pesan Tuhan yang selalu menghampirinya setiap saat. Lalu berupaya menarik makna dan merangkainya menjadi sebuah cerita utuh dari perjalanan panjang dalam mematangkan jiwa, hingga saatnya tiba bagi kita mempersaksikan seluruh peran yang telah kita mainkan dalam drama kosmik ini kepada Sang Sutradara Tunggal.

Membedah Hukum Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ushul fikih dan Hukum yang Berlaku di Indonesia

Oleh:
Asnawi Ihsan
Direktur Pusat Kajian Hati Yayasan Indonesia Bahagia


Setelah dalam kurun waktu lima tahun menjadi konsultan perkawinan beda agama, bergelut dengan berbagai persoalan seputar perkawinan beda agama, kali ini saya kembali mengulas hukum perkawinan beda agama atau pernikahan beda agama dengan pendekatan filsafat hukum Islam atau dalam diskursus ilmu-ilmu keislaman disebut dengan ushul fikih. Di bagian akhir, saya akan sedikit mengulas argumentasi mengapa perkawinan beda agama masih bisa dilakukan secara sah di Indonesia.

Dalam beberapa literatur yang dulu saya pelajari baik ketika masih di pesantren, atau ketika saya mengambil kuliah hukum Islam (Syariah) sekaligus dalam penelitian yang saya lakukan ketika menyelesaikan studi S1, hasilnya adalah saya menemukan fakta dimana para ulama tidak berada dalam kesamaan pendapat mengenai hukum perkawinan beda agama. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang membolehkan dengan syarat, dan adapula yang membolehkan dengan sangat longgar.

Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan beda agama haram secara mutlak, baik untuk laki-laki muslim ataupun untuk perempuan muslim. Baik terhadap ahli kitab ataupun terhadap non ahli kitab. Meskipun nantinya seputar definisi ahli kitab, para ulama juga tidak lagi bersepakat dalam satu pemahaman yang sama.

Kedua, Saya menemukan juga pendapat ulama yang mengatakan bahwa perkawinan beda agama dibolehkan tapi dengan syarat, hanya untuk pria muslim dan hanya kepada perempuan ahli kitab. sementara bagi perempuan muslim tidak dibolehkan menikah beda agama. juga pria muslim tidak boleh menikah dengan perempuan non ahli kitab.

Ketiga, secara mengejutkan, saya juga menemukan pendapat ulama yang menempatkan agama dalam posisi setara sehingga kemudian juga pada akhirnya mereka membolehkan perkawinan beda agama, baik untuk pria muslim maupun untuk perempuan muslim. baik terhadap ahli kitab maupun terhadap non ahli kitab.

Hemat saya, ketiga pendapat itu adalah hasil pemikiran para ulama yang harus dihormati dan dihargai. semuanya merujuk kepada alquran dan hadis, serta menggunakan epistimologi yang sah dalam disiplin hukum Islam dalam hal ini Ushul fikih dan Qawaidul fiqh. Perbedaan yang terjadi sesungguhnya terletak pada persoalan metodologi yang digunakan. Begitupun nantinya pendapat hukum perkawinana beda agama yang kemudian kita pilih, itu hanya salah satu pendapat hukum yang ada diantara sekian banyak hazanah yang ada dalam dinamika perjalanan sejarah hukum Islam dari masa ke masa.

Mari kita kaji satu persatu masing-masing pendapat yang berkembang mengenai hukum perkawinan beda agama.

Pendapat yang mengharamkan secara mutlak adalah pendapat para ulama yang dalam mengkaji ayat-ayat seputar perkawinan beda agama dengan berpegang pada pendekatan Nasikh-Mansukh ditambah dengan pendekatan Ithlaqullafdzi. Dengan pendekatan Nasikh-Mansukh, ayat yang menyatakan kebolehan perkawinan beda agama bagi pria muslim terhadap perempuan ahlu kitab sebagaimana termaktub dalam surat al-Maidah ayat 5 dianulir/dibatalkan dengan ayat yang menyatakan bahwa pria muslim dilarang menikah dengan perempuan musyrik sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 221. Begitupun dengan pendekatan ithlaqullafdzi, Maka kata musyrikina (pria-pria musyrik) dan musyrikaat (perempuan-perempuan musyrik)diyakini bermakna mutlak, sehingga mencakup seluruh manusia yang menyekutukan Allah. Bagi kelompok ini, seluruh manusia yang beragama selain agama Islam, dalam konteks sekarang, masuk dalam kategori ini. Sehingga, Pernikahan dengan siapapun orang di luar Islam hukumnya haram.

Bagi ulama yang membolehkan pernikahan beda agama terbatas hanya untuk pria muslim dengan perempuan ahli kitab, mereka menggunakan pendekatan takhsis ayat bil ayat. Ayat yang melarang pernikahan beda agama secara umum kepada semua perempuan musyrik dalam surat Al-Baqarah 221 sebenarnya tidak mencakup perempuan ahli kitab meskipun mereka dalam keimanannya telah terkontaminasi dengan konsep keimanan yang menjurus kepada kemuyrikan. Alasannya karena dalam ayat lain, yaitu surat al-Maidah ayat 5 dinyatakan kebolehan menikah dengan mereka. Artinya, Surat al-Maidah ayat 5 ini memberikan pengkhususan (takhsis)bahwa larangan menikah dengan perempuan musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 tidak berlaku terhadap perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani).

Sementara pendapat yang membolehkan perkawinan beda agama baik untuk laki-laki atau perempuan muslim, baik terhadap ahli kitab maupun non ahli kitab, mereka menggunakan pendekatan Al’-ibratu bikhususissabab la bi umumillafdz, Intinya, hukum hanya dapat diberlakukan terhadap sebab yang spesifik, tidak untuk teks yang umum. Menurut mereka, Surat Al-Baqarah ayat 221, yang melarang bagi pria muslim menikah dengan perempuan musyrik begitupun perempuan muslim dengan pria musyrik, tidak bisa diberlakukan secara umum kepada semua perempuan atau pria musyrik. Alasannya, jika dikaji dengan pendekatan kronologis turunnya ayat (asbab an-nuzul) ditemukan fakta bahwa sebab spesifik turunnya ayat itu adalah larangan menikah dengan manusia yang berasal dari komunitas musyrik arab (kaum Jahiliyyah). Dengan pendekatan kaidah "hukum hanya bisa mengikat dan menjangkau sebab yang spesifik dan tidak bisa menjangkau keseluruhan teks yang umum", maka larangan menikah beda agama hanya berlaku terhadap pria atau perempuan musyrik arab (kaum Jahiliyyah) dan tidak berlaku kepada penganut agama lain. Sehingga kemudian, mereka menyimpulkan bahwa perkawinan beda agama dibolehkan dengan penganut agama manapun selama mereka tidak berprilaku seperti kelompok musyrik arab. kebolehan ini berlaku baik untuk pria muslim maupun untuk perempuan Muslim. Menurut kelompok ini, kalau pendekatan ithlaaqullafdzi digunakan dalam memaknai kata musyrikin dan musyrikaat, maka seharusnya, kalau mereka konsisten, perkawinan antara sesama penganut Islam pun bisa jadi ada yang diharamkan apabila salah satunya melakukan perbuatan syirik. Karena, prilaku syirik bisa menimpa siapa saja, termasuk juga mereka yang beragama Islam. Persoalan lainnya, sangat sulit mengidentifikasi seseorang musyrik atau tidak dan siapakah yang memiliki otoritas untuk menentukan kemusyrikan seseorang itu. Dengan argumentasi itu, maka kelompok ini meyakini betul bahwa pelarangan dalam ayat 221 surat al-Baqarah ini hanya ditujukan kepada kelompok musyrik arab, atau kalau mau diperluas dalam konteks masa kini, juga ditujukan kepada siapa saja yang memiliki karakter dan prilaku negatif persis seperti kelompok musyrik arab.

Kalau kemudian ada yang mengatakan bahwa surat al-Mumtahanah ayat 10 bermaksud melarang perempuan muslim menikah dengan pria non muslim, sesungguhnya larangan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah larangan menikah hanya kepada pria non muslim yang berasal dari komunitas kafir. Jadi ada dua kriteria pria non muslim yang tidak boleh dinikahi, yang pertama kafir dan kedua musyrik. Yang harus diingat Alquran sendiri membedakan antara kafir, musyrik dan ahli kitab, misalnya saja dalam surat al-Bayyinah ayat 6.

Dalam Alquran memang tidak pernah ditemukan teks yang menyatakan larangan atau kebolehan menikah dengan pria ahli kitab, tidak seperti untuk pria muslim yang di dalam alquran dibicarakan dalam surat al-Maidah ayat 5. Namun dengan pendekatan kaidah dalam urusan muamalat (perkawinan termasuk urusan muamalat dalam hukum Islam) bahwa, Al-ashlu fil asy'ya'i al-ibahah illa ma dalla ala tahrimihi, hukum asal dari segala sesuatu dalam persoalan muamalah adalah boleh hingga ditemukan dalil yang mengharamkannya. Dengan demikian, karena alquran tidak membicarakan hukum perkawinan perempuan muslim dengan ahlu kitab, dan alquran hanya melarang perempuan muslim menikah dengan pria musyrik arab, maka perempuan muslim boleh menikah beda agama dengan pria non muslim.

Maaf, mungkin agak sedikit membingungkan jika anda tidak terbiasa dengan istilah-istilah studi hukum Islam, bukan maksud saya menggurui tapi saya berharap anda juga tidak asing dengan istilah istilah hukum Islam yang saya kutip. Namun setidaknya dari apa yang saya sampaikan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa mengambil satu pendapat hukum bukanlah satu hal yang mudah dan masing-masing pendapat dibangun diatas kajian terhadap ayat quran tapi kemudian metodologi yang digunakan masing-masing berbeda sehingga melahirkan pendapat hukum yang berbeda pula.

Adapun perkawinan beda agama dalam perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, UU perkawinan tahun 1974 harus diakui tidak dengan tegas melarang perkawinan beda agama, dalam istilah hukum disebut non expressis verbis. Akibatnya, ahli hukum juga berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang melarang dan ada yang membolehkan.

Bagi ahli hukum yang melarang perkawinan beda agama di Indonesia menyandarkan pendapatnya pada undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 pada Pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan pasal 8 huruf (f): Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku. Dengan dua alasan itu, perkawinan beda agama di Indonesia adalah perkara yang terlarang.

Adapun yang membolehkan memiliki dua alasan, pertama mereka berkeyakinan bahwa pasal 57 tentang kawin campur mencakup didalamnya perkawinan beda agama. Alasan kedua, UU perkawinan 1974 tidak mengatur hukum perkawinan beda agama, sehingga sebagaimana diatur dalam pasal 66, apabila tidak ada aturan dalam uu ini, maka aturan lama dapat diberlakukan. Dalam aturan lama mengenai kawin campur, Staatsblad 1898 Nomor 158 dalam Pasal 7 ayat (2) dinyatakan :Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan. Sehingga perkawinan beda agama masih bisa dilakukan di Indonesia. Untuk menguatkannya lagi ada keputusan Mahkamah Agung No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang juga membuka ruang untuk perkawinan beda agama. Inilah yang kemudian bisa dijadikan argumentasi untuk menyatakan perkawinan beda agama sah menurut hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia.


Saya tidak ingin menggiring anda kepada satu pemahaman, namun saya persilahkan anda melihat sendiri bagaimana dinamika yang terjadi seputar hukum perkawinan beda agama, anda berhak memilih pandangan mana yang menurut anda paling kuat dan sesuai dengan keyakinan dan hati nurani anda. Saya hanya membantu anda memberikan pijakan hukum yang kuat atas pilihan yang mungkin nanti anda ambil. Setiap manusia berhak untuk memilih, namun yang lebih penting lagi, keberanian memilih harus dibarengi dengan kesiapan menerima seluruh konsekuensi yang muncul dari pilihan yang kita ambil, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan!

Bagi anda yang ingin berkonsultasi secara pribadi tentang perkawinan beda agama, silahkan kirim email anda ke asnawiihsan@gmail.com
Read More 121 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

Mengurai Makna Sholat Wustho: Dari Tafsir Ahkam Hingga Tafsir Sufistik

Oleh: Asnawi Ihsan

Manusia kadang hanya fokus pada ibadah ruhani dan menafikan ibadah lahiriah. Sibuk memikirkan nilai filosofis dari satu ritual dan ketika makna hakikat telah dicapai bisa jadi praktik ritualnya sendiri ditinggalkan. Atau sebagian manusia sibuk dengan ibadah-ibadah seremonial meskipun hanya dilakukan sebagai formalitas belaka karena telah tereduksi secara substansi.

Bila ingin disederhanakan, kita sering menemukan seseorang yang meninggalkan syar’i karena sudah merasa ada di level hakikat atau sedang melakukan pencarian hakikat kebenaran. “Buat apa sholat, yang penting kan dzikir, eling, muhasabah, selalu ingat Tuhan dan selalu berusaha berbuat baik sesama manusia dan semesta” pernyataan yang mungkin tidak asing lagi di telinga kita. Atau kadang kita menemukan fenomena yang berbeda, “sudahlah jangan kau pikirkan tentang Tuhan, tentang hakikat kebenaran, akal kita ini sangat terbatas untuk menjangkaunya, jalankan saja semua perintah agama, jalankan dengan iman, kalau kau punya iman yang kuat, semuanya akan kau jalani dengan ikhlas. Kalau kau masih mempertanyakannya, imanmu masih tipis” ungkapan demikan pun kadang masih kita temukan keluar dari orang yang dekat dengan kita.

Nampaknya perlu menarik kedua pendapat tersebut untuk berada di tengah-tengah, tidak condong ke ‘substansi’ dan juga tidak condong ke ‘formalitas’. Mungkin untuk mempertemukan dua garis yang bersebrangan itu, kajian tentang sholat wustho, sholat “tengah tengah” menjadi sesuatu yang layak untuk dikupas secara mendalam.

Untuk memulai kajian tentang sholat wustho, mari kita simak firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 238:"Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'."

Jika kita cermati struktur kalimat ayat di atas, terdapat pengulangan kata sholat. Pertama kata sholat dalam bentuk jama (ash-sholawati) dan kedua dalam bentuk tunggal (as-sholati) yang diikuti dengan kata sifat (al-wustho). Bagi ulama tafsir, jika ditemukan struktur kalimat yang demikian dalam Alquran, di mana terjadi pengulangan kata tertentu, kata pertama dalam bentuk Jama dan kata kedua (yang diulang) dalam bentuk tunggal, atau kata yang pertama dalam bentuk umum dan kata kedua dalam bentuk khusus sesungguhnya maksud yang ingin disampaikan adalah memberikan penekanan akan pentingnya kata kedua (misalnya ash-sholat al-wustho) dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya yang termasuk dalam kata pertama (misalnya as-sholawati) atau dalam istilah tafsir sering disebut Tanbiihan ‘alaa syarafiha fi jinsiha wa miqdaarihaa.

Hal demikian tidak hanya terjadi dalam surat Al-Baqarah ayat 238 saja, dalam ayat lain kita juga dapat menemukan struktur kalimat yang tidak jauh berbeda. Misalnya saja dalam surat Al-Baqarah ayat 98: "Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir."

Meskipun dalam ayat itu Allah SWT telah menyebutkan kata malaikat, namun dalam kalimat selanjutnya Allah kembali menyebut Jibril dan Mikail secara spesifik. Hal ini menunjukan posisi Jibril dan Mikail lebih utama dibandingkan malaikat lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditafsirkan bahwa maksud Allah melakukan pengulangan kata sholat (ash-sholat al-wustho) dalam surat Al-Baqarah ayat 238 adalah untuk memberikan penegasan akan pentingnya sholat wustho dibandingkan dengan sholat-sholat lainnya. Namun yang menjadi persoalan, sesungguhnya apa yang dimaksud dengan sholat wustho (tengah-tengah) itu?

Bagi para pengkaji hukum Islam, menafsirkan ayat alquran hanya bisa dilakukan pada ayat-ayat yang masih global (mujmal), Umum (am), atau ayat-ayat mutasyabihat. Tidak berlaku penafsiran terhadap ayat-ayat yang jelas, spesifik dan pasti. Tapi ada sebagian pengkaji hukum Islam yang membuka ruang penafsiran secara terbuka dengan tidak mengenal istilah-istilah muhkamat dan mutasyabihat, semua sah-sah saja untuk ditafsirkan. Atau ada pula pengkaji hukum Islam yang memiliki pandangan bahwa yang disebut ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat makiyyah dan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat madaniyah seperti pandangan Kyai Thaha dari Sudan. Pandangan ini tentunya berbanding terbalik dengan pandangan para ulama ushul pada umumnya yang berkeyakinan bahwa ayat-ayat Muhkamat adalah ayat-ayat Madaniyah dan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat Makiyyah. Alasan Kyai Thaha, Ayat-ayat yang turun di Mekkah adalah ayat-ayat yang bersifat fundamental dan universal, sedangkan ayat-ayat yang diturunkan di madinah bersifat spesifik, lokal dan kasuistik. Misalnya saja, Ayat Makkiyah berbicara tentang Prinsip dasar keimanan, sementara ayat Madaniyah berbicara tentang hukum positif.

Mengenai status ayat 238 dari surat Al-Baqarah yang berbicara tentang sholat wustho, bagi ulama ushul fikih ayat tersebut masuk dalam kategori ayat mujmal (global). Misalnya saja sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama ushul fikih modern dari kalangan mazhab Maliki, yaitu Imam As-Sathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat fi ushul as-syari’ah. Dengan demikian, nampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa sholat wustho sesuatu yang masih sah untuk ditafsirkan. Bagi kalangan pengkaji hukum Islam secara umum berpandangan bahwa ayat-ayat mujmal hanya bisa ditafsirkan dengan bayan bil ayat atau bil-hadis (penjelasan dengan ayat atau hadis). Namun tidak demikian bagi kalangan sufi yang kadang berani keluar dari kaidah ushul dan tetap saja menggunakan ta’wil bathin dalam mengungkap makna yang tersirat di balik kata sholat wustho.

Abu Bakr Muhammad bin Abdullah, atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Al-Arabi (bukan Ibnu Arabi -tanpa al- tokoh Teosofi Islam yang terkenal dengan gagasan monisme eksistensialnya tapi ini adalah Ibnu Al-Arabi -dengan al- yang merupakan seorang tokoh tafsir dengan spesialisasi tafsir hukum) dalam karyanya ahkam al-quran Jilid I mendokumentasikan beberapa penafsiran para sahabat Nabi dalam memaknai sholat wustho.

Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa yang dimaksud sholat wustho adalah sholat dzuhur. Bagi Zaid, sholat dzhuhur memiliki keutamaan dibandingkan sholat-sholat lainnya karena sholat dzuhur adalah sholat yang pertama kali difardhukan bagi umat Islam. Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa yang disebut sholat wustho adalah sholat Ashar. Pandangan Ali ini didasari hadis rasul yang mengatakan bahwa sholat yang paling besar peluangnya untuk ditinggalkan adalah sholat wustho, dan sholat wustho itu adalah sholat ashar, hingga diperlukan penegasan secara khusus mengenai pentingnya sholat ashar. Sebagian sahabat menyebutkan sholat wustho adalah sholat maghrib dengan alasan sholat maghrib adalah satu-satunya sholat yang bilangan raka’atnya ganjil. Hal ini menunjukan keutamaan dan keunikan shalat maghrib dibandingkan sholat lainnya. Ada pula sahabat yang mengatakan bahwa sholat wustho itu adalah sholat isya dengan argumentasi bahwa sholat isya adalah sholat yang berada di tengah-tengah (wustho) antara waktu sholat maghrib (menjelang malam) dan sholat subuh (menjelang pagi). Ibnu Abbas mengatakan bahwa sholat wustho adalah sholat subuh. Bagi Ibnu Abbas, sholat subuh adalah sholat yang dilakukan di pertengahan malam dan siang. Terakhir, ada pula yang berpandangan bahwa sholat wustho adalah sholat Jum’at. Di antara beberapa pandangan yang ada, pendapat Ali bin Abi Thalib lah yang paling masyhur dan sering dikutip banyak orang.

Berbeda dengan kalangan ulama tafsir dan fikih, para ulama tasawuf berpandangan bahwa sholat wustho bukanlah salah satu dari sholat lima waktu. Bagi mereka, sholat wustho adalah shalat bathin atau sholat ruhani.

Syeikh Abdul Qodir Jailani yang diakui kedudukannya sebagai waliyul quthb di kalangan dunia tasawuf dan tarekat -sebagaimana dipaparkan Syeikh Al-Hujwiri dalam kitab Kasyful Mahjub- memberikan ulasan yang cukup panjang mengenai sholat wustho. Bahkan dalam salah satu karyanya, Sirr al-Asrar wa Muzhir al-Anwar Fi Ma Yahtaju Ilaihi, Syeikh Abdul Qodir Jailani membahas secara khusus sholat wustho dalam satu bab, yaitu di bab 14 dengan tema Ma’na al-Ibadah.

Bagi Abdul Qodir, dalam ayat 238 surat Al-Baqarah tersebut terdapat dua perintah. Pertama dalam kalimat Hafidzuu ‘ala ash-sholawati adalah perintah untuk memelihara sholat lahiriah dan dalam kalimat selanjutnya, wa ash-sholat al-wustho adalah perintah untuk memelihara sholat ruhani.

Sholat lahiriah adalah sebagaimana didefinisikan ulama fikih, yaitu sekumpulan bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Adapun sholat ruhani adalah sholat yang dilakukan oleh hati secara terus menerus. Sholat ruhani itulah yang dimaksudkan sebagai sholat wustho. Karena, wustho -sesuai dengan maknanya tengah-tengah- memiliki kesamaan dengan posisi hati yang berada di tengah-tengah, di pusat kesadaran dan titik keseimbangan seorang manusia. Jadi yang dimaksud sholat wustho adalah usaha seorang manusia menjaga hatinya untuk selalu berada di pusat kesadaran dengan mengingat Allah, menyebut asma Allah bahkan bertemu dengan Allah secara ruhani. Hatinya tidak pernah lalai dan tidak pernah tidur akan tetapi selalu berdzikir dan menghadirkan Allah.

Sholat lahiriah dilakukan hanya dalam waktu-waktu tertentu, sholat ruhani dilakukan setiap saat, makanya kemudian ada yang menamakannya juga sholat da’im atau dawam. Sholat lahiriah masjidnya adalah ruangan fisik, sholat ruhani masjidnya adalah hati. Berjama’ah dalam sholat lahiriah adalah sholat yang dilakukan bersama-sama saudara seiman, dalam sholat ruhani berjama’ah adalah menghimpun seluruh kekuatan dan potensi diri (akal, ruh dan raga) untuk bersama-sama mengagungkan dan melafalkan asma Allah dengan bahasa bathin. Jika sholat lahiriah dalam berjamaah dipimpin oleh seorang manusia, maka dalam sholat ruhani imamnya adalah tekad yang kuat. Terakhir, jika sholat lahiriah kiblatnya adalah Ka’bah, dalam sholat ruhani kiblatnya adalah “wajah” Allah yang ada di mana-mana dengan segala keindahan-Nya yang maha abadi.

Dengan demikian dapat kita pahami, bahwa maksud Allah SWT memberikan tekanan tentang sholat wustho adalah untuk menunjukan bahwa sholat wustho atau sholat ruhani menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Sholat-sholat lahir yang kita kerjakan akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan melakukan sholat ruhani. Namun bukan berarti sholat lahiriah dapat kita abaikan dan hanya mementingkan sholat ruhani. Sebagai seorang manusia, kita bukanlah malaikat yang hanya dibekali ruhani saja sehingga cukup beribadah secara ruhani. Sebagai seorang manusia, kita bukanlah hewan yang hanya dibekali untuk kelangsungan hidup ragawi saja. Manusia adalah perpaduan antara ruhani dan jasmani, maka kemudian manusia harus mampu menjaga keseimbangan ruhani dan jasmani. Oleh karena itu, perpaduan sholat lahiriah dan sholat ruhani akan melahirkan ketentraman jiwa bagi orang yang menjalankannya dengan baik.

Manusia yang sudah mampu memadukan sholat lahiriah dengan sholat ruhani dapat menjadikan sholat sebagai media untuk berdialog langsung dengan Tuhan. Setiap gerakan dan bacaan yang dilakukan bukan sekedar gerakan dan bacaan yang kosong. Tapi setiap gerakan dan bacaan yang dilakukan penuh dengan penjiwaan dan penghayatan karena hatinya turut serta dalam menjalankan sholat. Misalnya, ketika mulut kita melafalkan Iyyaka Na’budu, Ya Allah Hanya kepada-Mu lah kami Menyembah, hati kita secara total menyerahkan seluruh jiwa raga hanya kepada Allah SWT, dan ketika kita melafalkan Iyyaka Nasta’inu, setelah kepasrahan total kepada Allah kita hanya berharap Allah-lah satu-satunya tempat memohon pertolongan, pertolongan yang kita inginkan adalah Ihdina ash-shirat al-mustaqim, yaitu petunjuk untuk mencapai jalan yang lurus, jalan yang dilalui para Nabi, Shiddiqiin, Syuhada dan Sholihin. Pemaknaan dan penghayatan yang demikian hanya bisa dilakukan ketika menjalankan sholat, kita menghidupkan dan menghadirkan hati kita, tidak hanya sebatas fisik saja. Sholat yang demikian adalah sholat yang layak disebut mi’raj, sholat yang termasuk dalam kategori perjalanan ruhani menuju Allah, mungkin hadis nabi yang berbunyi Ash-sholat Mi’raj al-mu’miniin, Sholat adalah Mi’rajnya orang-orang yang beriman, baru menemukan relevansinya dalam konteks ini. Semoga Allah selalu membuka dan mempertajam mata hati kita. Inna Fatahna Laka Fathan Mubiina!!!

Wallahu a’lam.
Read More 5 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

Ibnu Taymiyah dan Sufisme

oleh: Asnawi Ihsan

Sebatas yang saya tahu, anggapan bahwa Ibnu Taymiyah adalah ulama yang sangat keras terhadap praktek tasawuf/tarekat tidaklah se-ekstrim sebagaimana yang ditudingkan banyak kalangan. Begitupun kemudian saat wahabi melakukan “pembersihan” terhadap praktek tasawuf (tawashul, kultus, taklid, ziarah dll) menurut saya karena gerakan wahabi telah mempolitisasi konsep tajdid yang diusung oleh ibnu taymiyah. Ditambah lagi, saat kita mempelajari sejarah hitam ikhtilaf antar pemikiran dan gerakan teologi/akidah tidak dapat dipungkiri literatur kita banyak didominasi oleh salah satu aliran yang paling berkembang di Indonesia yang cenderung sangat berpihak terhadap aliran teologinya sendiri.


Kembali ke persoalan apakah ibnu taymiyah memang anti terhadap gerakan sufisme kita setidaknya bisa melacak dari apa yang disampaikan oleh Hamka, Cak Nur dan Fazlurrahman yang memang memiliki konsentrasi terhadap pemikiran Ibnu Taymiyah.

Saya akan mengawali bahwa sufisme dalam Islam tidak muncul dalam satu wajah. Sufisme yang banyak kita temukan adalah sufisme tradisional atau sufisme populer (Popular Sufism). Model tasawuf ini sangat kental terlihat dalam kelompok tarekat yang memahami praktek tasawuf dengan berziarah ke makam wali/orang suci, kultus terhadap mursyid, juga meyakini tawashul (intercession) kepada Mursyid sebagai jalan keselamatan. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Mursyid sebagai perantara “pertemuan” antara dirinya dengan Tuhan. Model tasawuf inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai model tasawuf yang ditolak oleh ibnu Taymiyah.

Ibnu Taymiyah menawarkan satu konsep sufi yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah. Baginya, gerakan sufisme yang saat itu berkembang (Popular Sufism) sudah harus dikembalikan kepada yang standar dan mainstream (berdasar Quran & Sunnah), karena memang obsesi keislamannya adalah kembali kepada Qur’an dan sunnah dalam “tatapan langsung” yang artinya menekankan ke-Maha-Hadir-an Tuhan. Tuhan Yang Serba Hadir, Yang Selalu Ada bersama kita adalah bagian dari tema-tema sufi. Inilah yang oleh fazlurrahman disebut sebagai neo-sufisme yang dikehendaki oleh Ibnu Taymiyah. Atau oleh Hamka, istilah neo-sufisme ini disebut dengan istilah tasawuf Modern. Yaitu semacam suatu pandangan kesufian yang relevan dengan kehidupan masa kini.

Ada dua hal yang menjadi ciri utama neo-sufisme yang dikehendaki Ibnu Taymiyah,

Pertama, Tauhid, dalam arti paham ketuhanan yang semurni-murninya, yang tidak mengizinkan adanya mitologi terhadap alam dan sesama manusia. Termasuk juga faham kultus yang dipraktekkan oleh banyak kalangan.

Kedua, tanggung jawab pribadi dalam memahami agama. Tidak boleh “pasrah” kepada otoritas orang lain –betapa pun tinggi ilmu dan kedekatannya dengan Tuhan- dalam bentuk taqlid buta.

Jadi yang saya pahami, kritik ibnu taymiyah terhadap tasawuf adalah terletak pada praktek-prakteknya saja yang dikhawatirkan menuju kepada kemusyrikan dan taklid buta, diluar itu tidak masalah. Nah, adapun kemudian pandangan ibnu taymiyah dipelintir untuk kepentingan gerakan wahabi itu persoalan lain. Dalam satu kesempatan, ibnu taymiyah ketika ditanya tentang kasus yang menimpa Bayazid Bistami dan Al-Hallaj beliau mengatakan bahwa keduanya tidak sesat hanya saja sangat disayangkan mengapa ungkapan-ungkapan mereka saat ekstase itu terpublikasikan. Tapi saya lupa pendapat ibnu taymiyah yang ini terekam di buku yang mana. Intinya saya sangat setuju bahwa wahabisme telah melakukan banyak tindakan kekerasan terhadap faham Islam yang lain, tapi saya kira hal yang perlu dikaji lebih dalam lagi jika Ibnu Taymiyah dikaitkan dengan pembersihan secara kasar terhadap praktek tawashul, kultus, taklid, ziarah yang berkembang dalam dunia tasawuf yang dilakukan oleh wahabi.
Read More 1 Comment | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

Khutbah Jum'at: Qolb, Fuad dan Lubb

Oleh: Asnawi Ihsan

Jamaah Shalat Jum`at yang Mulia !

Setelah menyampaikan wasiat takwa, saya ingin memulai khutbah Jumat ini dengan sebuah kisah menarik yang terdapat dalam kitab Thaharotul Qulub: Wal Khudu’u Li’allaamil Ghuyub karya seorang sufi, Al Arif Billah Syeikh Abdul Aziz bin Ahmad bin Said.


Kisah tersebut merupakan pengalaman menarik yang dialami oleh sufi lainnya yang bernama Syeikh Abdul Warid Bin Zubad. Dikisahkan bahwa syeikh Abdul Warid dalam satu waktu pernah melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu gunung ke gunung lain, dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mencari ilmu hikmah dari guru-guru sufi. Satu ketika di sebuah gunung Syeikh Abdul Warid bertemu seorang kakek tua yang buta dan tuli serta tidak memiliki sepasang kaki dan tangan. Kakek tersebut sedang beribadah dengan khusuk. Setelah mendekat Syeikh Abdul Warid mendengar sang kakek sedang mengucapkan puji-pujian kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala. “ilaahi wa sayyidi, Tuhanku dan Tuanku, Matta’tani Bijawaarihii haitsu syi’ta’, Kau anugerahkan anggota tubuh padaku ketika engkau menghendakinya, Wa akhodztaha haitsu syi’ta, dan kau ambil kembali semuanya saat kau inginkan, Wa tarakta lii husnadzonni fiika, Ya birru Ya Washuul.. tapi tetap saja engkau mampu membuatku untuk selalu berbaik sangka pada-Mu.. Wahai dzat yang maha Baik dan dzat Yang Maha Menyampaikan Maksud..

Syeikh Abdul Warid bertanya dalam hati: Aneh sekali kakek ini, Kebaikan apa yang telah Allah berikan? Dan menyampaikan Tujuan apa yang dia maksud, bukankah ia tuli dan buta sehingga tidak bisa melakukan banyak hal?

Tiba-tiba sang kakek berkata kepada Abdul Warid hingga ia sangat terkejut karena kakek yang buta dan tuli itu mengetahui apa yang ia fikirkan: Ilaika anni ya baththool, alaisa taraka lii qolban ya’rifuhu? Wa lisaanan yadzkuruhu? Fahuwa Na’iimuddaraini Jami’an, Akan aku jelaskan padamu (kebahagiaan) yang aku dapatkan wahai lelaki pengangguran! Bukankah Tuhan telah meninggalkan Qalb/hati yang selalu mengenal-Nya? Bukankah Tuhan telah memberikanku lidah sehingga aku mampu untuk selalu mengagungkan-Nya? Dan ketahuilah semua itu nikmat dunia akhirat yang tak terhingga.

Subhanallah, sungguh kisah yang sangat menakjubkan. Di mana dari seorang kakek buta, tuli dan cacat, kita dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga. Hati Nurani! Qolb! Hati yang selalu takut dan tunduk kepada Allah. Hati yang telah diterangi cahaya Ilahi, sebagai anugerah terbesar dari Allah yang melebihi dari anugerah apapun! Apalah arti kesempurnaan fisik dan materi yang berlebihan jika ternyata hati kita adalah hati yang tumpul! Hati yang keras! Hati yang tidak terisi oleh cahaya Ilahi! Betapa sang kakek mengingatkan kita agar tidak terperangkap dalam perspesi dan standar kebahagiaan duniawi yang lebih cenderung bersifat materialistik yang semakin dikejar semakin membuat kita merasa hampa dan asing bahkan atas diri kita sendiri. Haruslah hati kita hidup dan berperan bukan hanya akal dan nafsu belaka. Hati yang dimaksudkan disini dan dalam cerita si kakek, adalah hati dalam arti ruhani bukan dalam hati fisik.

Jama’ah Sholat Jumat yang mulia!
Sesungguhnya membahas bab hati, kita harus memisahkan dulu hati dalam arti fisik dan hati dalam arti spiritual. Hati dalam arti fisik menurut hadis nabi adalah segumpal daging (mudghoh) yang sangat berpengaruh bagi kesehatan seorang manusia. Apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh bagian tubuh dan apabila segumpal daging itu rusak maka rusaklah seluruh bagian tubuh. Ulama berbeda pendapat mengenai mudghoh ini. sebagian ulama menafsirkannya sebagai hati (liver) dan sebagaian lagi menafsirkannya jantung. Tapi diluar perbedaan pandangan itu, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam diri kita ada sebuah organ yang harus kita jaga. Jangan sampai kita rusak diri kita dengan memakan harta yang bukan milik kita.

Adapun untuk menjelaskan hati dalam arti ruhani, saya akan mengutip pandangan ulama besar Mulla Sadra dalam kitabnya Mafatihul Ghaib. Menurut Mulla Sadra, hati dalam arti ruhani memiliki tiga tingkatan. Dimana antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa saja berada dalam tingkatan yang berbeda. Ada baiknya kita mengenali hati kita ada di tingkatan yang mana.

Tingkatan pertama disebut Qolb. Qolb sesuai dengan artinya bolak balik, memang tidak stabil. Masih terjadi tarik menarik antara kebaikan dengan keburukan. Mari coba kita renungkan, bagaimana dengan diri kita? Apakah sering berada dalam kondisi tarik menarik antara yang hak dengan yang batil? Misalnya, ibadah kita jalankan dengan baik, namun disisi lain maksiat kita jalankan. Atau kadang dalam bekerja kita masih ada keinginan untuk melakukan kecurangan jika ada kesempatan namun kita takut dosa. Lalu kita bingung dan ragu mau melakukan atau tidak. Terjadi tarik menarik antara qolb dan nafsu. Jika demikian sesungguhnya tingkatan kita berada dalam posisi ini. Jika hati kita berada dalam tingkatan ini. Makanya kemudian dalam tasyahud akhir ada doa yang berbunyi: Ya muqollibal Quluub, Tsabbit Qolbi ala dinika, wahai Zat yang maha pembolak-balik hati, pancangkanlah hati kami dalam agama-Mu!

Hati yang berada dalam tingkatan kedua disebut fuad. Fuad sebenarnya lebih dekat ke akal. Jadi hati yang sudah mampu mempertimbangkan sisi baik dan sisi buruk dari satu perbuatan. Hati yang sudah berani memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan. Mengedepankan kebenaran dan meninggalkan kebathilan.

Adapun hati yang berada dalam tingkatan ketiga atau tingkatan tertinggi adalah lub. Lub adalah hati yang selain sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, juga telah terisi dengan kesadaran bahwa kebaikan yang dilakukan sebagai bentuk kecintaan kepada Allah SWT. Sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hati dalam tingkatan inilah yang dimaksudkan dalam kisah si kakek. Hati yang sudah mengenal Tuhannya. Hati yang telah terisi dengan nur ilahi. Hati inilah yang sering berhak disebut Baitullah. Mungkin disini saya harus membedakan antara baitullah dalam diri dan baitullah dalam bentuk Ka’bah. Karena, mungkin selama ini, jika kita mendengar baitullah itu adalah ka’bah.

Baitullah dan haji memiliki dua makna. Makna hakikat dan makna syariat. Dalam makna syariat sebagaimana sudah sangat kita pahami, bahwa haji adalah perjalanan ke baitullah. Adapun haji dalam makna hakikat adalah perjalanan ke dalam diri untuk sampai pada derajat hati yang sempurna (lub), karena lub inilah hakikat dari baitullah yang simbolnya berupa ka’bah yang berada di Mekkah. Maka, perjalanan haji ke mekkah yang begitu berat dengan keharusan menyiapkan mental fisik, pengetahuan dan waktu yang matang adalah sebagai simbol betapa sulitnya mencapai tingkatan Lub dalam diri kita sendiri.

Mudah-mudahan bagi kaum muslimin yang baru saja melaksanakan ibadah haji dapat mengambil pelajaran berharga dari ibadah haji secara syariat. Bahwa haji adalah perjalanan ke dalam diri untuk mengaktifkan lub/hati kita sehingga terisi oleh cahaya ilahi. Sehingga semua pikiran dan perbuatannya mencerminkan sifat Tuhan.
Adapun bagi kita yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji secara syariat, sebenarnya ada kesempatan bagi kita untuk mencapai derajat haji secara hakikat. Yaitu dengan melatih diri kita, agar sampai pada tingkatan hati ketiga yang disebut Lub atau baitullah. Hati yang telah dimasuki cahaya Ilahi, hati yang telah mengenal Pemiliknya, Hati yang telah mengenal Tuhannya. Ada kalimat hikmah (oleh kalangan sufi diyakini sebagai hadis nabi) yang mengatakan: Man arafa nafsahu faqod arafa rabbahu! Barang siapa telah mengenal dirinya (sampai pada tingkatan lub) maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.

Marilah kita berdoa, seandainya hari ini hati kita masih berada dalam tingkatan qolb, semoga esok meningkat ke tingkatan fuad dan lusa sudah sampai pada tingkatan lub atau Hati yang merupakan baitullah atau rumah allah. Kita pun berdoa, semoga hati kita bukanlah hati yang mati. Yaitu hati bila yang sudah tidak merasa bersalah lagi melakukan dosa dan kesalahan. Dalam alquran diistilahkan sebagai hati yang buta. Mari kita simak Surat Al-Hajj ayat 46:

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Al-Jatsiyah ayat 23).

Baarokallahu li wa lakum.
Read More 3 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

Menyingkap Misteri Tasawuf

Saya mungkin akan memulai bahwa tasawuf merupakan praktik spiritual dalam tradisi islam. Tasawuf memandang ruh sebagai puncak dari segala realitas. Sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan” saja. Maka, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat personal. Berbeda dengan “agama” yang bersifat umum (dalam islam kita kenal dengan istilah sya’riah/syari’at), jalan tasawuf kemudian kita kenal dengan istilah tarekat (dekat dengan istilah tirakat). Dalam jalan ini setiap pendaki akan melewati level dan kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam islam dikenal dengan istilah mursyid). Dimana antara satu guru dengan guru yang lain sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda. Sang murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang meyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan) atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih yang lain. Hingga sang murid mampu mencapai tingkatan fana (kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri sang murid sehingga murid sampai pada sebuah kondisi “tersingkap”, “menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan”.


Sebatas apa yang saya ketahui, disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf moral –setelah melewati fase tadi- mengajak “kembali” sang murid untuk hidup dalam dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat. Namun syariat yang telah diisi dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan. Sehingga syariat yang dijalankan akan lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana ia berasal dan kemana ia akan kembali.

Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”. Tapi mau tetap Menikmati ekstase keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan. Terucaplah perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase. Berujar mengaku sebagai Sang Kebenaran atau memuji dirinya sendiri sebagai Tuhan. Atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan. Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul khawas) mungkin tidak menjadi persoalan. Tapi bagaimana di kalangan awam yang memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf? Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini menyandang predikat sesat atau yang berakhir dengan hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu Mansyur Al-Hallaj dan Ainul qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya berakhir dengan hukuman mati. Bahkan syuhrawardi dan ainul qudhat dihukum mati dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh siti djenar (jika kisah ini juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah termasuk dalam kategori ini.

Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih. Bahkan bagi sebagian kalangan islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah. Disinilah perlunya kita bisa memahami islam (dari sisi kajian dan praktik) baik dari sisi teologi, tasawuf, fikih dan filsafat. Agar tidak mudah terjebak dalam absulutisme dan arogansi fikih misalnya atau tasawuf, teologi maupun filsafat sehingga saling menyalahkan satu sama lain karena ketidakmengertian kita terhadap metodologi yang digunakan.

Apa yang contohkan Al-Ghazali & rumi yaitu untuk segera pulang setelah bertemu Tuhan, seharusnya bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf hari ini. Al-Ghazali menghiasi syariat dengan yang kaku dengan nilai-nilai hakikat. Atau rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra..

Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri setiap manusia. Yang kadang sepintas ia “muncul” dan kita tidak mengenalinya lalu “tertutup” lagi oleh potensi lain dalam diri kita.

Setidaknya itu apa yang saya pahami. Sangat terbatas... Dan dengan keterbatasan saya, apa yang saya tulis masih sangat jauh mendekati dari apa yang sebenarnya sehingga besar sekali ruang kritik saya buka disini. Bertukar pengalaman dan bacaan nampaknya selalu menjadi keharusan.

Salam,
Asnawi Ihsan
Read More 2 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

Jilbab dan Aurat dalam Hukum Islam

Antropologi Jilbab
Secara historis, jilbab telah dikenal sejak lama misalnya di Yunani dan Persia sebelum Islam datang. Motivasi yang melandasi tumbuhnya tradisi berjilbab beragam. Bagi masyarakat Persia, Jilbab digunakan untuk membedakan perempuan bangsawan dengan perempuan biasa dan Perempuan yang sudah menikah (masih bersuami atau janda). Seorang perempuan yang diperistri oleh seorang laki-laki dan perempuan tersebut belum dijilbabkan maka statusnya adalah gundik bukan istri sah. Jadi jilbab bagi masyarakat Persia dulu digunakan untuk menunjukan eksklusifitas kelas. Sementara bagi masyarakat Yunani, Jilbab berkaitan erat dengan teologi atau mitologi menstruasi. Perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan secara sosial karena diyakini dalam kondisi “kotor” sehingga mudah dirasuki Iblis. Untuk menghalangi masuknya Iblis ke diri perempuan tersebut maka harus ditutupi jilbab sehingga iblis tidak bisa masuk. Dan, bisa jadi dalam kultur masyarakat tertentu memiliki fungsi yang berbeda. Demikian jika kita ingin memotret tradisi berjilbab dalam perspektif sejarah beberapa abad ke belakang. Data ini bisa dilacak dari hasil riset yang dilakukan oleh Fadwa El-Guindi, Ph.D seorang Profesor Antropologi dari Sourthen university California, juga dalam makalah yang pernah ditulis Oleh Prof. Nasarudin Umar (Peneliti Kesetaraan Gender dalam Islam, saat ini menjabat Dirjen BIMAS ISLAM DEPAG) dalam jurnal Ulumul Quran sekitar Tahun 1990-an.


Dalam tradisi masyarakat arab, dimana pertama kali islam berkembang, Jilbab pun sudah populer. Hanya saja, dalam tradisi masyarakat arab, kepala ditutup rapat namun dada mereka terbuka. Data ini bisa dilacak dalam kitab Shofwatuttafasir karya seorang ulama terkemuka yang bernama Imam Muhammad Ali As-Shobuni.


Pandangan Islam tentang Jilbab
Pertama, kita harus memulai dari ayat berikut:
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. (Al-Ahzab ayat 59)

Dalam Al-Ahzab ayat 59 diatas, menurut ulama tafsir, Sabab Nuzul (sebab turun) ayat tersebut adalah karena terjadinya hadist ifki (berita bohong) atau fitnah kubro (fitnah yang sangat keji) terhadap Aisyah RA yang bersatus istri nabi. Aisyah disinyalir memiliki kedekatan khusus dengan salah seorang sahabat nabi bahkan difitnah berselingkuh. Oleh karena itu turunlah ayat ini yang memerintahkan nabi menganjurkan istri dan anaknya mengenakan jilbab dengan maksud mengangkat kembali derajat istri nabi. Menurutku, pandangan ini memiliki kemiripan dengan tradisi berjilbab masyarakat Persia dimana jilbab berperan untuk mengangkat derajat perempuan.

Kajian Hukum/syariat/fikih ayat diatas:
1. jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bikhusus as-sabab, laa bi umum al-lafdzi (Penetapan hukum harus berdasarkan sebab yang spesifik bukan berdasarkan teks yang general) maka kesimpulan hukum yang dapat diambil adalah bahwa jilbab hanya diwajibkan bagi Istri dan anak nabi saja, tidak untuk perempuan muslim lainnya meskipun dalam teks dinyatakan secara eksplisit : “Istri-istrimu, anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin”. Karena generalnya teks tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dan hanya kepada penyebab lahirnya hukum saja hukum itu berlaku.

2. Jika menggunakan dalil penetapan hukum Islam: Al-Ibratu Bi-umum al-Lafdzi, laa bikhusus as-sabab (Penetapan hukum harus berdasarkan generalnya teks bukan berdasarkan sebab yang spesifik) maka kesimpulan hukum yang dapat diambil adalah bahwa jilbab diwajibkan kepada istri& anak nabi begitupun seluruh perempuan beriman. Meskipun ayat ini sebenarnya turun karena disebabkan peristiwa yang menimpa aisyah (istri nabi tersebut) tapi ayat ini berlaku umum.

Dari sini mungkin kita sudah dapat menemukan titik terang, mengapa ada ulama yang berpandangan bahwa Jilbab wajib untuk semua perempuan muslim dan sebagian lagi berpandangan tidak wajib. Sebenarnya itu dimulai dari perbedaan cara/metode penafsiran yang digunakan. Dan kedua model penafsiran tersebut adalah metode yang sama-sama dianggap sah dalam tradisi islam. Bagi yang berpegang dengan metode pertama, biasanya berangkat dari para penafsir yang lebih mengedepankan konteks dari ayat dan berusaha menggali pesan moral yang terkandung dari ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di kalangan pemikir di luar Hijaz ( di luar makkah, madinah dan sekitar) termasuk Indonesia yang memang tidak terlalu banyak diwarisi pengalaman nabi, sahabat dan generasi awal Islam sehingga mengharuskan mereka mengedepankan rasionalitas. Adapun yang berpegang dengan metode kedua, biasanya berangkat dari para penafsir yang mengedepankan teks ayat. Dalam tradisi Islam ini berkembang di kalangan pemikir yang berada di sekitar Hijaz. Mereka cenderung tekstual/literal karena memang banyak diwarisi pengalaman nabi, sahabat dan generasi awal yang bisa dijadikan referensi mereka untuk bertanya jika menemukan kesulitan dalam memaknai ayat sehingga tidak perlu repot repot berfikir keras.

Jika ada pertanyaan, pandangan mana yang benar? Maka kita pun harus bersandar bagaimana status sebuah pandangan hukum dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam kebenaran sebuah pandangan/pendapat bersifat relatif, karena semuanya merupakan ijtihadi (bersifat pemikiran manusia). Selama bersandar pada metodologi hukum Islam yang sah maka hukum itupun dianggap sah. Manusia memiliki kebebasan penuh untuk memilih hukum mana yang menurutnya lebih benar, lebih tepat dan lebih diyakini untuk dijalankan. Perbedaan adalah hal yang dianggap wajar dan dianggap hanya sebagai bentuk keragaman saja. Seseorang baru dianggap salah jika sudah memutlakan pandangan yang dianutnya dan menganggap pandangan orang lain salah.

Kedua, kadang jilbab dikaitkan dengan aurat, sebenarnya bagaimana konsep aurat dalam tradisi Islam?
Kita harus memulai dari ayat:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. An-Nur ayat 31.

Ulama tafsir berpendapat bahwa sebab turun ayat ini masyarakat arab punya tradisi menutup kepala tapi dada terbuka. Sebagaimana di awal dikutip dari pandangan tafsir ash-shobuni dalam shofwatuttafasir. Makanya kemudian dalam ayat ini ada perintah “menutup kain kerudung ke dadanya”. Maksudnya, kenapa kepala ditutup, tapi dada yang lebih privasi tidak ditutup. Maka bagusnya tutuplah sekalian dadanya.

Ada ungkapan yang bagus dalam ayat ini, hendaklah menahan pandangan dan kemaluannya. Ini juga mengisyaratkan apa sebenarnya aurat itu. Pertama berkaitan dengan pandangan dan kedua berkaitan dengan kemaluan. Tafsirnya, apa yang membuat pandangan orang lain tidak nyaman begitupun apa yang membuat kita merasa malu menurut standar etika yang berlaku bagi masyarakat tertentu atau dimana kita berada maka itulah yang menjadi pijakan kita menentukan aurat. adapun prakteknya seperti apa sangat bergantung pada kultur masyarakat yang berlaku itu tadi. Maka, bagi kultur masyarakat arab, menutup aurat bagi perempuan adalah dengan menutup kepala, dada, tangan bahkan ada yang sampai bercadar sesungguhnya itu adalah salah satu bentuk praktek menutup aurat bagi masyarakat tertentu yang kemudian dilegitimasi oleh Islam sebagai contoh saja karena kebetulan Alquran dan Islam pertama kali berinteraksi dengan kultur masyarakat arab.

Lagi lagi, jika kita menggunakan pendekatan tekstual/literal maka praktek menutup aurat yang benar adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh masyarakat arab yang hal tersebut dilegitimasi Islam melalui teks alquran surat an-nur ayat 31 itu. Praktek ini benar dan tidak bisa disalahkan.

Namun, jika kita menggunakan pendekatan kontekstual, maka yang paling penting adalah menangkap pesan moral dari ayat ini. Yaitu menjaga pandangan orang lain agar tidak terganggu dan menjaga harga diri kita. Adapun prakteknya sangat bergantung dari standar moral yang berlaku. Quraish Shihab dan Nurcholish Madjid berpandangan bahwa aurat bagi perempuan Indonesia tidak termasuk kepala/rambut. Jadi menggunakan pakaian yang sopan dan tidak ketat/memperlihatkan lekuk tubuh itu sudah masuk dalam standar menutup aurat. praktek inipun benar dan tidak bisa disalahkan.

Demikian seputar perdebatan syariat dalam masalah hukum jilbab dan aurat. lagi lagi, persoalan hukum aurat dan jilbab adalah persoalan syariat, maka pendekatan yang paling tepat untuk menentukan hukumnya seperti apa hanya bisa dilakukan dengan menggunakan epistimologi syariat. Tidak tepat jika kita ingin mendiskusikan hukum jilbab dan aurat tapi dengan metode yang biasa digunakan membedah ilmu hakikat yang cenderung bersifat intuitif-spekulatif. Sementara hukum Islam lebih cenderung normatif-argumentatif. Pendekatan intuitif-spekulatif baru tepat digunakan saat kita akan membedah tujuan, makna, hakikat dan hikmah dibalik pensyariatan jilbab dan aurat. mudah-mudahan kita terbiasa menempatkannya sesuai porsi masing-masing sehingga tidak terjadi kerancuan dalam berfikir dan berbuat dalam menjalankan spiritualitas (beragama).
Read More 2 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post

Warna-warni Hukum Perkawinan Beda Agama

Warna-warni Hukum Perkawinan Beda Agama
Oleh ASNAWI IHSAN, S.H.I.
Harian Pikiran Rakyat 19-04-05

DALAM paragraf kedua dari tulisan tersebut, "AM" berpandangan bahwa model perkawinan yang dibenarkan menurut Allah SWT adalah perkawinan yang didasarkan pada satu akidah. Lebih jelas lagi dalam paragraf ketiga "AM" menegaskan bahwa berdasarkan ajaran Islam, kehidupan yang bahagia hanya bisa didapatkan dari perkawinan yang memiliki keyakinan agama yang sama. Sebaliknya jika suami-istri berbeda agama, akan menimbulkan banyak persoalan.


Pada bagian selanjutnya "AM" memberikan pendapat bahwa Islam dengan tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Begitu juga pria Muslim dilarang menikahi perempuan musyrik. Adapun hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita kitabiyah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang. Namun secara implisit "AM" lebih cenderung memihak pandangan yang mengharamkan.

Di bagian akhir artikel tersebut, "AM" menawarkan solusi bahwa untuk menyelesaikan pesoalan perkawinan beda agama, aturan yang dibuat negara mengenai boleh tidaknya harus berpijak pada hukum agama. Dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.

Akar teologis
Akidah (teologi) dalam tradisi pemikiran Islam tidak lebih dari sebuah rumusan konsepsional mengenai pandangan ketuhanan dan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hal tersebut dengan menjadikan Alquran dan sunah sebagai pijakan. Dalam sejarah Islam klasik terdapat beberapa aliran pemikiran akidah (teologi) seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Syi'ah dll. Status kebenaran dari masing-masing aliran akidah (teologi) ini pun bersifat ijtihad. Artinya tidak dapat diposisikan sebagai kebenaran mutlak. Pada perkembangan selanjutnya, aliran-aliran formal tersebut pun mencair. Saat ini, para pemikir keagamaan lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan kontemporer, seperti isu pluralisme.

Persoalan krusial berkaitan dengan pluralisme adalah, apakah Islam sebagai satu-satunya agama yang benar? Atau agama selain Islam juga membawa kebenaran dan keselamatan? Dari sinilah dimulai perdebatan kelompok eksklusif dengan kelompok inklusif-pluralis. Pemikir eksklusif berkeyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diterima di sisi Allah. Jalan keselamatan untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat hanya melalui keimanan yang diformalkan melalui syahadat lalu diikuti dengan menjalankan aturan-aturan keagamaan (syariat).

Adapun kelompok inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri. Setiap agama selama memiliki konsep ketuhanan (monoteisme), mengajarkan kebaikan dan mengimani kehidupan akhirat tidak dapat dikatakan agama yang salah dan sesat. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, kedua kelompok ini acapkali merujuk pada sumber yang sama, Alquran surat Ali Imran/3:19, 64, 85, Al-Baqarah/2:62, Al-Maidah/5:48 dan An-Nahl/16:36. Kondisi ini menjadi sangat menarik di mana kita dapat melihat bahwa Islam begitu luas membuka ruang ijtihad bagi para penganutnya untuk mengoptimalkan potensi kemanusiaannya -- dengan tetap berpegang pada sumber autentik ajaran Islam -- dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan.

Pandangan teologis sebagai kerangka logis dalam memahami aspek-aspek fundamental ajaran agama akan memberikan pengaruh kuat terhadap perilaku penganutnya. Dalam tradisi Islam, sekumpulan formulasi pemahaman Islam yang digali dari Alquran dan sunah melalu proses ijtihad untuk mengatur prilaku manusia -- termasuk persoalan perkawinan -- disebut fikih. Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa di dalamnya tidak mengandung kesalahan dan kekeliruan.

Dengan demikian fikih pun bersifat ijtihad. Artinya dapat disimpulkan bahwa semua pendapat yang berkaitan dengan hukum perkawinan beda agama pun bersifat relatif. Mungkin benar dan mungkin juga salah. Seorang eksklusif cenderung akan menjadikan fikih eksklusif sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Begitupun sebaliknya dengan seorang yang inklusif-pluralis. Di sinilah kita dapat menemukan benang merah mengapa kelompok eksklusif melarang perkawinan beda agama sementara kelompok inklusif-pluralis membolehkannya.

Walaupun terjadi perbedaan yang tajam, kedua belah pihak tidak berhak untuk mengklaim bahwa pendapat kelompoknya lebih benar dan pendapat kelompok lain keliru. Sebab dalam tradisi hukum Islam dibenarkan terjadinya perbedaan ketetapan hukum atau ketetapan hukum yang beragam dalam satu kasus hukum. Atau yang dikenal dengan istilah ikhtilaf. Adapun ikhtilaf dalam tradisi hukum Islam dapat dibagi ke dalam 2 kategori utama.

Pertama, ikhtilaf tadaddi, yaitu ikhtilaf kontradiktif. Di mana terjadi pertentangan dalam ketetapan hukum dan secara logis tidak dapat dipertemukan, misalnya sebuah mazhab mengatakan haram dan mazhab lainnya mengatakan halal. Kedua, ikhtilaf tanawwu', yaitu ikhtilaf variatif. Di mana ketetapan-ketetapan hukum yang bertentangan yang variasi-variasinya bisa diterima secara logis dan bisa dipertemukan. Misalnya variasi duduk Rasulullah saw. saat salat. (Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, 2005:199)

Keragaman hukum
Perkawinan adalah urusan muamalah. Sesuai dengan kaidah hukum Islam, hukum asal dari persoalan muamalah adalah mubah (boleh) hingga ditemukan dalil-dalil syar'i yang mengharamkannya (Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah illa ma dalla addalil 'ala tahrimihi). Jika demikian, hukum asal perkawinan beda agama adalah boleh hingga ditemukan dalil-dalil yang mengharamkannya. Dalil dalil yang menjadi rujukan mengenai perkawinan beda agama adalah Alquran surat Al-Baqarah/2:221, Al-Maidah/5:5, dan Al-Mumtahanah/60:10.

Dari kajian mendalam terhadap tiga ayat ini dengan didukung kajian sunah, perilaku sahabat, pendapat-pendapat ulama terdahulu, dan pertimbangan sosiokultural maka terlahirlah ketetapan hukum mengenai perkawinan beda agama itu. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas diduga berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan menetapkan hukum haram. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas diduga tidak berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan menetapkan hukum mubah (boleh). Perbedaan ketetapan hukum ini terjadi karena pemahaman yang berbeda mengenai definisi dan batasan term musyrik dan ahlulkitab. Karena memang tidak ada kesepakatan ulama mengenai kelompok mana saja yang masuk dalam kategori musyrik dan ahlulkitab.

Di bawah ini beberapa ketetapan hukum mengenai perkawinan beda agama.

(1) Hukum perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim
Sayid Sabiq (Fiqh As-Sunnah, jilid II:95) mengatakan bahwa ulama fikih sepakat mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan pria non-Muslim dari golongan mana pun sebagaimana dilansir dalam Q.S. Al-Baqarah/2:221. Menurut Ali Ash-Shabuni (Rawai Al-Bayan -tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Juz I:289) Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahlulkitab dan non-Muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.

Maulana Muhammad Ali (Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir, terjemahan, 1993:119) mengatakan bahwa Alquran sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Namun dalam praktiknya mayoritas umat Islam sejak dulu memang menolak model perkawinan tersebut. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasari atas ijtihad bahwa seorang wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim akan menemukan banyak problem jika tinggal dalam keluarga non-Muslim.

Mahmoud Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim (Dekonstruksi Syari'ah/2001:345-346) berpendapat bahwa larangan pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang di mana wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama di depan hukum, larangan ini sudah tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan itu, penelitian sosial yang dilakukan Noryamin Aini mengenai praktik perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil mengejutkan. Di mana figur ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Data ini meruntuhkan asumsi dan mitos klasik seperti yang dikutip Maulana Muhammad Ali. Untuk itu, tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan beda agama. (Gatra: 21 Juni 2003).

Zainun Kamal berpendapat bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan pria non-Muslim mana pun selain pria kafir musyrik Quraisy. Menurutnya, Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 bermaksud melarang perkawinan wanita Muslim dengan pria kafir musyrik Quraisy, bukan lainnya. Pendapat ini diambil dari Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, Jilid 4 hal 19, Al- Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Jilid 4 hal 92 dan Al-Fakhruddin Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, Jilid 29 hal 305.

(2) Hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik dan Ahlulkitab.
Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlulkitab adalah haram. Sama haramnya dengan perempuan musyrik. Alasannya karena perempuan ahlulkitab juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat yang membolehkan perkawinan ini Q.S. Al-Maidah/5:5 dianulir (naskh) dengan Q.S. Al-Baqarah/2:221. (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz II:36).

Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal melarang perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita Yahudi dan Nashrani. (Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam/1996:50). Sekalipun ahlulkitab tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena yang tepenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahlulkitab. (Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Ar'ba'ah, Juz IV:176).
Rasyid Ridha berpandangan bahwa maksud dari Q.S. Al-Baqarah/2:221 dan Al-Mumtahanah/60:10 adalah untuk melarang perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik Arab. Dengan demikian kebolehannya bukan hanya menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasrani saja, melainkan juga dengan wanita-wanita mana pun. Baik Majusi, Shabi'ah, Hindu, Budha, orang-orang Cina dan Jepang sekalipun. Karena menurutnya mereka itu termasuk ahlulkitab yang berisi tauhid sampai sekarang. (Muhammmad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Jilid VI:193)

Tawaran solusi konteks Indonesia
Menanggapi solusi yang ditawarkan "AM" bahwa negara harus berpijak pada hukum agama berkaitan dengan perkawinan beda agama, secara prinsip penulis sepakat. Namun penulis lebih menekankan bahwa negara harus bersikap akomodatif terhadap keragaman hukum perkawinan beda agama. Tidak seperti yang selama ini terjadi dengan masih berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang jelas-jelas memihak pendapat yang melarang perkawinan beda agama secara mutlak.

Akibat dari keberpihakan itu, kedua produk hukum ini tidak efektif dan banyak dilanggar masyarakat. Saran penulis untuk menghindari sikap diskriminatif dan menciptakan hukum yang efektif, negara harus merevisi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan menghilangkan poin-poin yang menutup peluang perkawinan beda agama. Selain itu negara juga harus membuat undang-undang catatan sipil yang mampu mengakomodasikan semua kepentingan elemen di masyarakat. Catatan sipil harus mampu memfasilitasi pencatatan peristiwa-peristiwa penting termasuk perkawinan beda agama.***

Penulis, Mantan Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Alumnus Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Read More 0 komentar | Diposting oleh Asnawi Ihsan | edit post
Older Posts

Asnawi Ihsan

  • About Me!
      Lulusan Fak. Syari'ah&Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2003)dengan judul skripsi "Islam Liberal:Implikasi Pemikiran Pluralisme Agama Terhadap Hukum Islam".
      Selengkapnya
  • Pengikut!

    Kategori

    • Beda Agama (1)
    • Hukum Islam (4)
    • Khutbah (1)
    • Perkawinan (1)
    • Perkawinan Beda Agama (1)
    • Pluralisme (1)
    • Sejarah (1)
    • Shalat (1)
    • Shalat Wustho (1)
    • Spiritual (1)
    • Tasawuf (3)
    • Tokoh Islam (2)

    Arsip

    • May 2009 (1)
    • August 2008 (1)
    • March 2008 (2)
    • December 2007 (1)
    • September 2007 (1)
    • June 2007 (5)
    • March 2007 (2)
    Technorati Tags: pernikahan beda agama, perkawinan beda agama, pernikahan, perkawinan, islam, liberal, spiritual, tasawuf, hukum islam, tokoh islam, pluralis

    Labels

    • Hukum Islam (4)
    • Tasawuf (3)
    • Tokoh Islam (2)
    • Beda Agama (1)
    • Khutbah (1)
    • Perkawinan (1)
    • Perkawinan Beda Agama (1)
    • Pluralisme (1)
    • Sejarah (1)
    • Shalat (1)
    • Shalat Wustho (1)
    • Spiritual (1)
  • Search






    • Home
    • Posts RSS
    • Comments RSS
    • Edit

    © Copyright Pemikiran & Spiritualitas Islam Kontemporer. All rights reserved.
    Designed by Teguh Wiguna | Bloggerized by teguhwiguna.co.cc
    brought to you by Kudu Aing Deui!

    Back to Top