Sebatas yang saya tahu, anggapan bahwa Ibnu Taymiyah adalah ulama yang sangat keras terhadap praktek tasawuf/tarekat tidaklah se-ekstrim sebagaimana yang ditudingkan banyak kalangan. Begitupun kemudian saat wahabi melakukan “pembersihan” terhadap praktek tasawuf (tawashul, kultus, taklid, ziarah dll) menurut saya karena gerakan wahabi telah mempolitisasi konsep tajdid yang diusung oleh ibnu taymiyah. Ditambah lagi, saat kita mempelajari sejarah hitam ikhtilaf antar pemikiran dan gerakan teologi/akidah tidak dapat dipungkiri literatur kita banyak didominasi oleh salah satu aliran yang paling berkembang di Indonesia yang cenderung sangat berpihak terhadap aliran teologinya sendiri.
Kembali ke persoalan apakah ibnu taymiyah memang anti terhadap gerakan sufisme kita setidaknya bisa melacak dari apa yang disampaikan oleh Hamka, Cak Nur dan Fazlurrahman yang memang memiliki konsentrasi terhadap pemikiran Ibnu Taymiyah.
Saya akan mengawali bahwa sufisme dalam Islam tidak muncul dalam satu wajah. Sufisme yang banyak kita temukan adalah sufisme tradisional atau sufisme populer (Popular Sufism). Model tasawuf ini sangat kental terlihat dalam kelompok tarekat yang memahami praktek tasawuf dengan berziarah ke makam wali/orang suci, kultus terhadap mursyid, juga meyakini tawashul (intercession) kepada Mursyid sebagai jalan keselamatan. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Mursyid sebagai perantara “pertemuan” antara dirinya dengan Tuhan. Model tasawuf inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai model tasawuf yang ditolak oleh ibnu Taymiyah.
Ibnu Taymiyah menawarkan satu konsep sufi yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah. Baginya, gerakan sufisme yang saat itu berkembang (Popular Sufism) sudah harus dikembalikan kepada yang standar dan mainstream (berdasar Quran & Sunnah), karena memang obsesi keislamannya adalah kembali kepada Qur’an dan sunnah dalam “tatapan langsung” yang artinya menekankan ke-Maha-Hadir-an Tuhan. Tuhan Yang Serba Hadir, Yang Selalu Ada bersama kita adalah bagian dari tema-tema sufi. Inilah yang oleh fazlurrahman disebut sebagai neo-sufisme yang dikehendaki oleh Ibnu Taymiyah. Atau oleh Hamka, istilah neo-sufisme ini disebut dengan istilah tasawuf Modern. Yaitu semacam suatu pandangan kesufian yang relevan dengan kehidupan masa kini.
Ada dua hal yang menjadi ciri utama neo-sufisme yang dikehendaki Ibnu Taymiyah,
Pertama, Tauhid, dalam arti paham ketuhanan yang semurni-murninya, yang tidak mengizinkan adanya mitologi terhadap alam dan sesama manusia. Termasuk juga faham kultus yang dipraktekkan oleh banyak kalangan.
Kedua, tanggung jawab pribadi dalam memahami agama. Tidak boleh “pasrah” kepada otoritas orang lain –betapa pun tinggi ilmu dan kedekatannya dengan Tuhan- dalam bentuk taqlid buta.
Jadi yang saya pahami, kritik ibnu taymiyah terhadap tasawuf adalah terletak pada praktek-prakteknya saja yang dikhawatirkan menuju kepada kemusyrikan dan taklid buta, diluar itu tidak masalah. Nah, adapun kemudian pandangan ibnu taymiyah dipelintir untuk kepentingan gerakan wahabi itu persoalan lain. Dalam satu kesempatan, ibnu taymiyah ketika ditanya tentang kasus yang menimpa Bayazid Bistami dan Al-Hallaj beliau mengatakan bahwa keduanya tidak sesat hanya saja sangat disayangkan mengapa ungkapan-ungkapan mereka saat ekstase itu terpublikasikan. Tapi saya lupa pendapat ibnu taymiyah yang ini terekam di buku yang mana. Intinya saya sangat setuju bahwa wahabisme telah melakukan banyak tindakan kekerasan terhadap faham Islam yang lain, tapi saya kira hal yang perlu dikaji lebih dalam lagi jika Ibnu Taymiyah dikaitkan dengan pembersihan secara kasar terhadap praktek tawashul, kultus, taklid, ziarah yang berkembang dalam dunia tasawuf yang dilakukan oleh wahabi.
Mantaabbphh.. :)
Kayaknya mesti gantian ni Wi, lo mesti ngajarin gw bikin blog yg OK ;)
Ditunggu panduan dan bimbingannya ya Shaykh.. eh, bukan Shaykh deng, Sayed ;)