Jamaah Shalat Jum`at yang Mulia !
Setelah menyampaikan wasiat takwa, saya ingin memulai khutbah Jumat ini dengan sebuah kisah menarik yang terdapat dalam kitab Thaharotul Qulub: Wal Khudu’u Li’allaamil Ghuyub karya seorang sufi, Al Arif Billah Syeikh Abdul Aziz bin Ahmad bin Said.
Kisah tersebut merupakan pengalaman menarik yang dialami oleh sufi lainnya yang bernama Syeikh Abdul Warid Bin Zubad. Dikisahkan bahwa syeikh Abdul Warid dalam satu waktu pernah melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu gunung ke gunung lain, dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mencari ilmu hikmah dari guru-guru sufi. Satu ketika di sebuah gunung Syeikh Abdul Warid bertemu seorang kakek tua yang buta dan tuli serta tidak memiliki sepasang kaki dan tangan. Kakek tersebut sedang beribadah dengan khusuk. Setelah mendekat Syeikh Abdul Warid mendengar sang kakek sedang mengucapkan puji-pujian kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala. “ilaahi wa sayyidi, Tuhanku dan Tuanku, Matta’tani Bijawaarihii haitsu syi’ta’, Kau anugerahkan anggota tubuh padaku ketika engkau menghendakinya, Wa akhodztaha haitsu syi’ta, dan kau ambil kembali semuanya saat kau inginkan, Wa tarakta lii husnadzonni fiika, Ya birru Ya Washuul.. tapi tetap saja engkau mampu membuatku untuk selalu berbaik sangka pada-Mu.. Wahai dzat yang maha Baik dan dzat Yang Maha Menyampaikan Maksud..
Syeikh Abdul Warid bertanya dalam hati: Aneh sekali kakek ini, Kebaikan apa yang telah Allah berikan? Dan menyampaikan Tujuan apa yang dia maksud, bukankah ia tuli dan buta sehingga tidak bisa melakukan banyak hal?
Tiba-tiba sang kakek berkata kepada Abdul Warid hingga ia sangat terkejut karena kakek yang buta dan tuli itu mengetahui apa yang ia fikirkan: Ilaika anni ya baththool, alaisa taraka lii qolban ya’rifuhu? Wa lisaanan yadzkuruhu? Fahuwa Na’iimuddaraini Jami’an, Akan aku jelaskan padamu (kebahagiaan) yang aku dapatkan wahai lelaki pengangguran! Bukankah Tuhan telah meninggalkan Qalb/hati yang selalu mengenal-Nya? Bukankah Tuhan telah memberikanku lidah sehingga aku mampu untuk selalu mengagungkan-Nya? Dan ketahuilah semua itu nikmat dunia akhirat yang tak terhingga.
Subhanallah, sungguh kisah yang sangat menakjubkan. Di mana dari seorang kakek buta, tuli dan cacat, kita dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga. Hati Nurani! Qolb! Hati yang selalu takut dan tunduk kepada Allah. Hati yang telah diterangi cahaya Ilahi, sebagai anugerah terbesar dari Allah yang melebihi dari anugerah apapun! Apalah arti kesempurnaan fisik dan materi yang berlebihan jika ternyata hati kita adalah hati yang tumpul! Hati yang keras! Hati yang tidak terisi oleh cahaya Ilahi! Betapa sang kakek mengingatkan kita agar tidak terperangkap dalam perspesi dan standar kebahagiaan duniawi yang lebih cenderung bersifat materialistik yang semakin dikejar semakin membuat kita merasa hampa dan asing bahkan atas diri kita sendiri. Haruslah hati kita hidup dan berperan bukan hanya akal dan nafsu belaka. Hati yang dimaksudkan disini dan dalam cerita si kakek, adalah hati dalam arti ruhani bukan dalam hati fisik.
Jama’ah Sholat Jumat yang mulia!
Sesungguhnya membahas bab hati, kita harus memisahkan dulu hati dalam arti fisik dan hati dalam arti spiritual. Hati dalam arti fisik menurut hadis nabi adalah segumpal daging (mudghoh) yang sangat berpengaruh bagi kesehatan seorang manusia. Apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh bagian tubuh dan apabila segumpal daging itu rusak maka rusaklah seluruh bagian tubuh. Ulama berbeda pendapat mengenai mudghoh ini. sebagian ulama menafsirkannya sebagai hati (liver) dan sebagaian lagi menafsirkannya jantung. Tapi diluar perbedaan pandangan itu, setidaknya kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam diri kita ada sebuah organ yang harus kita jaga. Jangan sampai kita rusak diri kita dengan memakan harta yang bukan milik kita.
Adapun untuk menjelaskan hati dalam arti ruhani, saya akan mengutip pandangan ulama besar Mulla Sadra dalam kitabnya Mafatihul Ghaib. Menurut Mulla Sadra, hati dalam arti ruhani memiliki tiga tingkatan. Dimana antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa saja berada dalam tingkatan yang berbeda. Ada baiknya kita mengenali hati kita ada di tingkatan yang mana.
Tingkatan pertama disebut Qolb. Qolb sesuai dengan artinya bolak balik, memang tidak stabil. Masih terjadi tarik menarik antara kebaikan dengan keburukan. Mari coba kita renungkan, bagaimana dengan diri kita? Apakah sering berada dalam kondisi tarik menarik antara yang hak dengan yang batil? Misalnya, ibadah kita jalankan dengan baik, namun disisi lain maksiat kita jalankan. Atau kadang dalam bekerja kita masih ada keinginan untuk melakukan kecurangan jika ada kesempatan namun kita takut dosa. Lalu kita bingung dan ragu mau melakukan atau tidak. Terjadi tarik menarik antara qolb dan nafsu. Jika demikian sesungguhnya tingkatan kita berada dalam posisi ini. Jika hati kita berada dalam tingkatan ini. Makanya kemudian dalam tasyahud akhir ada doa yang berbunyi: Ya muqollibal Quluub, Tsabbit Qolbi ala dinika, wahai Zat yang maha pembolak-balik hati, pancangkanlah hati kami dalam agama-Mu!
Hati yang berada dalam tingkatan kedua disebut fuad. Fuad sebenarnya lebih dekat ke akal. Jadi hati yang sudah mampu mempertimbangkan sisi baik dan sisi buruk dari satu perbuatan. Hati yang sudah berani memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan. Mengedepankan kebenaran dan meninggalkan kebathilan.
Adapun hati yang berada dalam tingkatan ketiga atau tingkatan tertinggi adalah lub. Lub adalah hati yang selain sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, juga telah terisi dengan kesadaran bahwa kebaikan yang dilakukan sebagai bentuk kecintaan kepada Allah SWT. Sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hati dalam tingkatan inilah yang dimaksudkan dalam kisah si kakek. Hati yang sudah mengenal Tuhannya. Hati yang telah terisi dengan nur ilahi. Hati inilah yang sering berhak disebut Baitullah. Mungkin disini saya harus membedakan antara baitullah dalam diri dan baitullah dalam bentuk Ka’bah. Karena, mungkin selama ini, jika kita mendengar baitullah itu adalah ka’bah.
Baitullah dan haji memiliki dua makna. Makna hakikat dan makna syariat. Dalam makna syariat sebagaimana sudah sangat kita pahami, bahwa haji adalah perjalanan ke baitullah. Adapun haji dalam makna hakikat adalah perjalanan ke dalam diri untuk sampai pada derajat hati yang sempurna (lub), karena lub inilah hakikat dari baitullah yang simbolnya berupa ka’bah yang berada di Mekkah. Maka, perjalanan haji ke mekkah yang begitu berat dengan keharusan menyiapkan mental fisik, pengetahuan dan waktu yang matang adalah sebagai simbol betapa sulitnya mencapai tingkatan Lub dalam diri kita sendiri.
Mudah-mudahan bagi kaum muslimin yang baru saja melaksanakan ibadah haji dapat mengambil pelajaran berharga dari ibadah haji secara syariat. Bahwa haji adalah perjalanan ke dalam diri untuk mengaktifkan lub/hati kita sehingga terisi oleh cahaya ilahi. Sehingga semua pikiran dan perbuatannya mencerminkan sifat Tuhan.
Adapun bagi kita yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji secara syariat, sebenarnya ada kesempatan bagi kita untuk mencapai derajat haji secara hakikat. Yaitu dengan melatih diri kita, agar sampai pada tingkatan hati ketiga yang disebut Lub atau baitullah. Hati yang telah dimasuki cahaya Ilahi, hati yang telah mengenal Pemiliknya, Hati yang telah mengenal Tuhannya. Ada kalimat hikmah (oleh kalangan sufi diyakini sebagai hadis nabi) yang mengatakan: Man arafa nafsahu faqod arafa rabbahu! Barang siapa telah mengenal dirinya (sampai pada tingkatan lub) maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.
Marilah kita berdoa, seandainya hari ini hati kita masih berada dalam tingkatan qolb, semoga esok meningkat ke tingkatan fuad dan lusa sudah sampai pada tingkatan lub atau Hati yang merupakan baitullah atau rumah allah. Kita pun berdoa, semoga hati kita bukanlah hati yang mati. Yaitu hati bila yang sudah tidak merasa bersalah lagi melakukan dosa dan kesalahan. Dalam alquran diistilahkan sebagai hati yang buta. Mari kita simak Surat Al-Hajj ayat 46:
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Al-Jatsiyah ayat 23).
Baarokallahu li wa lakum.
Khutbah Jumat yang sangat layak dijadikan bahan renungan dan introspeksi diri.
Samsul
terima kasih sharing ilmunya...
saya membuat tulisan tentang "Berdzikir Membuat Hati Tetram, Benarkah?"
silakan berkunjung ke:
http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/berdzikir-membuat-hati-tentram-benarkah.html
salam,
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com/
Subhanallaah,....sebuah tulisan yang mengkonfirmasi dan klarifikasi atas proses hidayah ku yang "informal",
aku sungguh tak berilmu, melainkan hanya ENGKAU,namun
aku takut jika masuk golongan hamba yang tak bersyukur saat ku nafikan cahayaMU, yang tlah hadir dalam wujud bimbingan dan petunjuk dengan cara EGKAU yang selalu unik sepanjang jalanku ditahun2 terakhir ini.
Alhamdulillaah...
tidak ada yang kebetulan, tulisan anda menguatkan keyakinanku kepada Cinta Allah SWT.
terima kasih.